Lanjutan artikel PERTAMA
Sebagai gambaran, para pengingkar Tuhan zaman dahulu, meyakini bahwa makhluk-makhluk itu [hidup atau benda] yang dipuja dan disembah tidaklah mendatangkan kemanfaatan dan kemadharatan.
Mereka melakukannya bukan karena meyakini makhluk-makhluk itu bisa memberi rezki atau mengatur alam semesta, melainkan sebagai “perantara” dalam mendekatkan kepada hakikat Pencipta. Demikian pula dengan pengingkaran zaman ini, mereka menjadikan sosok yang dikagumi, benda yang dikeramatkan, sistem hidup yang diagungkan pun sebagai perantara dalam menggapai tujuan yang diinginkan.
Berawal dari memuliakan tokoh, berakhir dengan pengkultusan. Berawal dari melestarikan budhaya, berakhir dengan pengkeramatan atas nama agama.
Berawal dari penyanjungan sistem ideologi yang dianut, berakhir dengan sakralitas sistem yang membabibuta. Semua berjalan dan mengalir tanpa sadar menerjang dinding-dinding ketauhidan.
Di antara fenomena yang telah menggurita adalah arus sekularisme [upaya memisahkan akhirat dengan dunia; memisahkan agama dengan ilmu, memisahkan agama dengan negara, memisahkan ulama dengan kekuasaan dan lain-lain], juga arus liberalisme [seruan kebebasan dalam menafsir agama]. Keduanya berhasil menelikung alam fikir dan merobohkan benteng-benteng keimanan sebagai azas agama.
Seiring dengan seruan pengingkaran “wujud Allah”, pemandulan atas keyakinan bahwa Allah itu Pencipta dan Pengatur alam, pernyataan perang terhadap semua yang menyerukan keimanan terhadap Allah dan rasulNya serta menolak apabila urusan-urusan agama masuk ke dalam urusan-urusan dunia. Menurut mereka, agama itu ranah private, sementara dunia itu ranah public. Karenanya mereka sangat bersemangat untuk “menceraikan” keduanya.
Pengingkaran Agama
Pengingkaran mereka sangat nyata, baik bersifat total [mulhidah] atau pun tidak total [ghair mulhidah, agnoticisme], namun keduanya sama-sama menggiring penganutnya untuk menjadi “sosok manusia” yang anti Tuhan [al-laadiniyyah, atheisme] sebagaimana dijelaskan Muhammad Syakir Syarief dalam Al-‘Ilmaaniyyaat wa Tsamaruhal Khabiesat, Muhammad ‘Abdul Hadi al-Mishri dalam Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah Minal ‘Ilmaaniyyaat, Prof. Safar al-Hawali dalam Al-Ilmaaniyyaat dan Mohammad Natsir dalam Ikhtaaruu Ihdaas Sabilain; ad-Diin auw al-Laadiiniyyah.
Dalam bahasa para ulama, mereka itu disebut pula dengan istilah kaum dahriyyuun, yaitu orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya, tidak mempercayai alam akhir dan beranggapan bahwa waktu [ad-dahr] itulah yang dapat menentukan segalanya dalam kehidupan [QS. 45: 23-26].
Adapun prinsip dan gagasan yang ingin dibangun oleh gerakan liberalisme adalah: pentingnya menilai ulang dan merombak kembali ijtihad, berkomitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, menerima pluralisme sosial dan pluralisme agama, serta pemisahan agama dari partai politik. Sebagaimana penelitian Greg Barton [Monash University Australia] dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.
Dengan demikian, gagasan-gagasan tersebut melahirkan berbagai kerusakan terstruktur; hancurnya aqidah Islam, runtuhnya bangunan syari’at, porak porandanya konsep al-Qur’an sebagai wahyu, hancurnya konsep dasar Islam, runtuhnya otoritas ulama dan membarjirnya dukungan terhadap kerusakan akhlak akibat faham liberalisme dan relativisme moral [maraknya LGBT dan kawin sesama jenis di antaranya].
Dengan terbukanya kran kesesatan, menyebabkan munculnya tuduhan, bahwa “syari’ah Islam menjadi penyebab mundurnya kaum muslimin dikarenakan membatasi kehidupan dan tidak cocok bila diterapkan di abad ini”.
Bukankah kalimat itu lebih mendekati –untuk tidak mengatakan sama– kepada pemaknaan “agama adalah candu” sebagaimana pandangan para pengikut Karl Marx, Lennin, Stallin dan lainnya dari tokoh-tokoh Komunisme?
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sikap semacam ini, menurut Syaikh Ibnu Baz dalam Al-‘Aqidah as-Shahihah wa Nawaaqidhul Islam bukan sekedar telah melakukan penistaan agama, melainkan dapat membatalkan ke-Islaman pelakunya.
Dalam konteks tanah air, pandangan serupa pernah dikeluarkan dalam Resolusi Muktamar ‘Alim Ulama se-Indonesia tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang yang memutuskan tentang ajaran komunisme, di antaranya bahwa “ideologi ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya”.
Bahkan, seorang Kristen Suriah yang sangat menaruh perhatian terhadap tanah air, Faris Al-Khaury [Mantan Ketua Dewan Keamanan PBB] pernah menuturkan dengan jujur: “Hanya Islamlah yang mampu membendung komunisme”. (Prof. Dr. H.M. Rasjidi menukilkan dalam bukunya Islam Menentang Komunisme [1966]).
Semua ini menunjukkan, betapa Islam adalah agama yang benar-benar menjungjung tinggi nilai-nilai ke-Tuhanan dan sekaligus memelihara manusia dari berbagai pandangan yang menggiring pada ajaran anti Tuhan. Karena itu, Islam menolak terhadap komunisme dengan segala bentuk ajarannya. Rabbanaa tsabbit quluubanaa ‘alaa dinik.*/Penulis, H.T. Romly Qomaruddien, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah