ZAMAN dimana kita berada saat ini adalah zaman modern yang mungkin bisa diistilahkan dengan zaman serba ada dan serba cepat.
Beragam produk baik makanan, peralatan ataupun jasa tersedia online dan real-time bahkan sedekat jengkal jarak kita dengan telepon genggam atau telepon rumah. Tinggal pesan dan pesanan akan dideliver ke alamat kita sesuai spesifikasi dan keinginan.
Hampir tidak ada seorangpun diantara kita yang belum pernah memesan online atau via telpon untuk sesuatu yang ingin dikonsumsinya baik sesuatu sesederhana pizza, gadget, atau perangkat keras komputer. Yang menakjubkan lagi hampir bisa dipastikan bahwa pesanan kita disampaikan tepat waktu dan sesuai keinginan terutama jikalau pihak yang kita pesankan itu adalah pemilik brand atau merek terpercaya.
Semakin top, lama dan eksis sebuah brand semakin amanah-lah penjual itu dalam pengiriman, menyampaikan atau delivery produknya. Sebaliknya semakin tidak andal (reliable) sebuah brand atau penjual maka semakin kurang amanah sehingga berkurang pula tingkat trust konsumen pembeli akan level delivery brand bersangkutan bahkan tidak mungkin brand-nya pupus dari peredaran.
Delivery (baca: pemenuhan) terhadap amanah kurang lebih mirip bagaikan delivery produk-produk konsumen diatas. Namun tentu delivery amanah dakwah tidaklah sesepele makan siang atau barang konsumtif lainnya. Akan tetapi sayangnya amanah yang begitu besar tanggung jawabnya ini seringkali dilalaikan oleh insan manusia.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
إِنَّاعَرَضْنَاالْأَمَانَةَعَلَىالسَّمَاوَاتِوَالْأَرْضِوَالْجِبَالِفَأَبَيْنَأَنْيَحْمِلْنَهَاوَأَشْفَقْنَمِنْهَاوَحَمَلَهَاالْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُكَانَظَلُومًاجَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Q.S. al Ahzab/33 ayat 72)
Tafsir Tabari (Juz 20 hal 336) menerangkan makna amanah adalah ketaatan, faraidh (kewajiban-kewajiban fardhu) yang diwajibkan Allah Subhanahu Wata’ala atas manusia. Tafsir Al-Sa’di Juz 1 hal 673 menerangkan bahwa amanah adalah mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi hal-hal yang haram baik senang dan susah, tersembunyi atau terang-terangan.
Makna amanah yang dibahas dalam kesempatan kali ini adalah amanah dalam hal dakwah yang lebih luas dari amanah yang dimaksud dalam ayat mulia diatas.
Ensiklopedi online Duror Sunniyah menjelaskan makna kata ‘amanah’ sendiri secara bahasa adalah lawan kata dari khianat, akar katanya dari amn yakni tentramnya hati dan hilangnya ketakutan. Kata amanah adalah mashdar dari kata أمِنَ dengan kasrah pelakunya disebut amiin (orang yang dipercaya). Secara istilah, amanah adalah segala hak yang wajib engkau penuhi dan jaga. (sumber: Duror Sunniyah link: http://dorar.net/enc/akhlaq/108)
Dari makna istilahi yang termuat dalam ensiklopedi ini kita memahami bahwa kata amanah memiliki makna yang luas tidak hanya kewajiban individu melainkan juga segala perkara dimana kita dipercayakan untuk melaksanakannya.
Dua hadis yang dikutip berikut ini memuat makna amanah dalam artian yang lebih luas ini diantaranya:
Pertama, Dari Imam Ahmad ra. yang meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَدِّالأَمَانَةَإِلَىمَنِائْـتَمَنَكَ،وَلاَتَخُنْمَنْخَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu.”.(HR. Musnad Imam Ahmad Juz 2 halaman 150)
Kedua, Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda ketika ditanya tentang hari kiamat, kutipan hadits selengkapnya sebagai berikut:
بَيْنَمَاالنَّـبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِيمَجْلِسٍيُحَدِّثُالقَوْمَ،جَاءَهُأَعْرَابِيٌّ،فَقَالَ: مَتَىالسَّاعَةُ؟فَمَضَىرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيُحَدِّثُ،فَقَالَبَعْضُالقَوْمِ: سَمِعَمَاقَالَفَكَرِهَمَاقَالَ،وَقَالَبَعْضُهُمْ: بَلْلَمْيَسْمَعْ،حَتَّىإِذَاقَضَىحَدِيْـثَهُ،قَالَ: أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُعَنِالسَّاعَةِ؟،قَالَ: هَاأَنَايَارَسُوْلَاللهِ،قَالَ: فَإِذَاضُـيِّعَتِالأَمَانَـةُ،فَانْـتَظِرِالسَّاعَةَ،قَالَ: كَيْفَإِضَاعَتُهَا؟قَالَ: إِذَاوُسِّدَالأَمْرُإِلَىغَيْرِأَهْلِهِ،فَانْـتَظِرِالسَّاعَةَ .
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya, maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata: “Bahkan beliau tidak mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?” Orang itu berkata,”Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,”Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali bertanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah bersabda,”Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!.” (HR. Imam Bukhori, No/Hal 59)
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Untuk hadits kedua diatas, Imam Al-Aini dalam Umdatul Qori menerangkan tentang jawaban Rasulullah saw bahwa kata idzaa (dalam fa idzaa dhuyyi’atil amanah) mengandung makna syarat oleh karenanya terdapat kata fa’ (maka) di kalimat selanjutnya (fantazhiris sa’ah) (Umdatul Qori, Juz 2 Hal 6) Dari sini dapat dipahami bahwa bahwa Hari Kiamat tidak akan tiba kecuali bila amanah telah tersia-siakan.
Kemudian orang Badui tersebut bertanya kembali ”Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallammenjawab bahwa “Ketika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya” yakni maksudnya (menurut Imam al-Aini) adalah urusan-urusan yang terkait dengan agama seperti khilafah, kesultanan, kepemimpinan, kehakiman, fatwa dan lain sebagainya. Al-Kirmani menjelaskan bahwa menyerahkan urusan, yakni peletakan jabatan-jabatan (manashib) kepada orang yang tidak berhak (ghoir mustahiqqiiha) seperti menyerahkan kekuasaan kehakiman kepada orang yang tidak alim dalam hukum sebagaimana zaman kita ini.*/Ady C. Effendy, penulis ‘To Be Successful Muslim Youth’..(BERSAMBUNG)