DALAM sebuah penelitian, yang pernah dilakukan di daerah Detroit, AS. Penelitian menemukan, bahwa memiliki anak sangat mengekang kebebasan wanita.Wajar jika di negeri Eropa dan Barat banyak wanita enggan menjadi istri. Bagi mereka yang tak mau menjadi isteri, maka kumpul kebo adalah alternatif untuk memenuhi hasrat biologis mereka. Bagi yang enggan, tokoh telah menyediakan beraneka boneka dan sarana pemenuhan/pemuasan kebutuhan biologis (sex shops).
Ada tren, di mana kaum isteri zaman modern menghendaki kebebasan mutlak. Di mana bebas menentukan dan menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas pengembangan karir/profesinya dan aktivitas dalam kemasyarakatan.
Bebas dalam ekonomi memunculkan kecenderungan (gairah) kaum isteri akan independensi/ketidakbergantungan ekonomi pada kaum suami. Kaum isteri tidak perlu menggantungkan diri kepada kaum suami dalam urusan rumah tangga. Lalu, lahirnya para suami takut pada isteri.
Di lain pihak, ada dampak lain. Di mana pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan dan konglomerat mengeksploitasi hajat kaum wanita pada pekerjaan dan terus menerus memperlakukan mereka dengan perlakuan aniaya (exploitation de l’home par l’home). Tapi, jarang wanita menyadari ini.
Di negeri kampium demokrasi pun, masih saja kepada wanita diberikan gaji/upah lebih rendah/kecil dari yang diberikan kepada kaum pria dalam perusahaan dan pekerjaan yang sama, meskipun wakil-wakil wanita duduk di dalam badan perwakilan rakyat dan dalam eksekutif/manger perusahaan. Tingginya partisipasi wanita yang bekerja di luar rumah.
Para wanita dan kaum perempuan mengaku berjuang untuk mendapatkan independensi, kedudukan dalam badan perwakilan rakyat, dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Termasuk kebebasan hewani (kebebasan seksual) tanpa batas. Kebebasan berganti pasangan dan kebebasan dalam melakukan penyelewengan/penyimpangan seksua.
Inilah model dunia yang sudah jungkir-balik. Seorang isteri apabila kebetulan sedang di rumah, ia adalah milik suaminya dan anak-anaknya. Namun jika ia sedang di luar rumah, ia bisa-bisa milik siapa saja dan milik ramai-ramai. Isteri punya PIL sementara suami punya WIL.
Mengurus rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan hina yang hanya dikerjakan oleh pembantu rumah tangga. Peran orangtua harus dihapuskan. Karena semua orangtua sibuk di luar rumah. Anak-anak diserahkan pembantu dan penitipan anak (TPA). Sampa-sampai Negara ikut dibuat sibuk menggantikan peran orangtua dalam mengurus, mengasuh, merawat dan mendidik anak.
Negara-negara Skandinavia terkenal dengan sebutan Child Gulag, karena anak-anak yang diasuh oleh negara mencapai titik tertinggi di dunia.
Hampir 50% anak di Swedia dilahirkan oleh pasangan kumpul kebo. Bebas melahirkan atau menggugurkan. Seorang wanitaa terkenal berkebangsaan Inggeris pernah mengemukakan, “Kenapa hanya kaum wanita saja yang harus mengandung dan melahirkan, sedangkan kaum pria tidak usah mengandung dan melahirkan.”
Ia menggungat, agar kaum wanita juga seharusnya tidak usah mengandung dan melahirkan. Bila seseorang menginginkan anak, tinggal pesan saja bayi hasil rekayasa genetika modern.
Padahal kondisi fisik wanita untuk mengandung, melahirkan, menyusui diimbangi dengan kondisi mental psikologis berupa kesabaran, ketabahan, ketelitian. Perasaan, jiwa, fikiran waita dipersiapkan oleh Sang Pencipta, Sang Khaliq untuk mengemban tugas biologis seperti hamil/mengandung, melahirkan, menyusui.
Karena adanya perbedaan dalam susunan jasmani, perasaan dan juga tugas biologis, maka berbeda pula watak pria dan wanita dalam mengantisipasi tuntutan asasi masing-masing.
Kaum isteri harus dibayar dengan sejumlah tertentu untuk melahirkan anak. Melahirkan layak sebagai karir/profesi yang menghasilkan uang (sebagai industri). Tidak perlu semua, bahkan tidak perlu sebagian besar isteri mengambil profesi melahirkan. Bebas dari ikatan dan tanggungjawab.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Barat juga menghalalkan hubungan tak normal. Hubungan sejenis. Homoseksual dan lesbianisme –yang justru dikecam semua agama—justru dilegalkan dengan kedok Hak Azasi Manusia (HAM).
Maka, boleh jadi, suatu saat kelak tidak diperlukan lagi hubungan suami-isteri, menjaga dan melestarikan keturunan sebagai salah satu tugas dan fungsi manusia di dunia.
Lembaga keluarga merupakan sesuatu yang tidak harus dipertahankan. Bahkan sah dan legal hubungan seksual tanpa ikatan (kebebasan seksual). Menjaga kehormatan pribadi dan mengukuhkan kesopanan serta kesucian individu dan kehormatan diri, sertapersoalan keperawanan dipandang sudah ketinggalan jaman.
Dalam pandangan orang modern, dengan alat kontrasepsi, seseorang wanita dapat memilih siapa yang akan menjadi ayah dari benih yang dikandungnya. Teknik pembekuan sperma, inseminasi buatan, bayi tabung menggusur peran aya dan peran ibu.* (bersambung)
Asrir Sutanmaradjo. Penulis orangtua, tinggal di Bekasi
//Tulisan Kedua//