Hidayatullah.com–Mungkin akan dipandang aneh dalam lingkungan masyarakat yang sangat menghargai nilai sebuah perkawinan, jika seorang wanita yang sudah memasuki usia 30-an masih tetap sendiri. Tapi, sebagian wanita lajang di Yordania berusaha mengubah cara pandang masyarakat terhadap mereka. Mereka tidak ingin diberi julukan perawan tua dan mereka juga tidak ingin dikasihani.
“Masalahnya bukan menjadi lajang, tapi masalahnya adalah lingkungan kami,” kata Faten Dabbas, 36 tahun, seorang pengacara. “Mereka berkata ‘Kasihan dia, belum menikah’. Anda melihat iba di mata mereka. Mereka bertanya kepada saya, ‘Mengapa kamu belum menikah hingga sekarang?’. Seakan ada yang salah dengan diri saya. Sebuah pertanyaan bodoh.”
Dengan semakin meningkatnya biaya pernikahan, termasuk harga emas, mas kawin, dan tempat tinggal, ada penundaan usia nikah dalam beberapa tahun terakhir, 29,5 tahun untuk laki-laki dan 26,4 untuk wanita.
Menurut data resmi, pengangguran mencapai 12,7 persen. 14,7 persen rakyat Yordan hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari USD 800 (Dh2.934) setahun. Sementara inflasi tahun lalu tercatat 15 persen.
Di akhir tahun 1970-an rata-rata wanita menikah pada usia 21 tahun dan laki-laki 26 tahun. Menurut statistik resmi, 7,8 per 1.000 wanita di atas usia 35 tahun belum menikah.
Meskipun, menurut sosiolog, banyak wanita cenderung menunda pernikahan untuk mengejar pendidikan, karier, atau karena belum mendapatkan pasangan yang cocok, masyarakat Yordania masih belum menghargai wanita lajang.
Zakiyyah Bourini, pendiri komunitas Harraer Charitable, yang dibentuk Februari tahun lalu untuk para wanita lajang Yordan dan merupakan organisasi sejenis yang pertama kali ada, sudah muak dengan orang-orang yang memanggil wanita lajang dengan sebutan perawan tua.
“Itu adalah sebuah kata yang menunjukkan permintaan dikasihani. Kata itu merujuk pada onta betina yang sudah tua dan tidak berguna, atau pohon kurma mandul yang tidak bisa berbuah.”
“Banyak dari wanita lajang yang telah membantu orang tua mereka membiayai keluarga, menyerahkan seluruh pendapatannya untuk membiayai pendidikan saudara laki-laki mereka. Ketika mereka sudah ‘diperas’ dan tidak lagi mempunyai pekerjaan, mereka berubah menjadi korban dan beban bagi keluarga. Yang mereka butuhkan adalah rasa hormat dari masyarakat dan penghargaan dari keluarga.”
Nona Bourini berharap, masyarakat akan mengubah pandangan mereka terhadap wanita lajang.
“Kami menggunakan nama Harraer, dan bukan perawan tua, yang artinya pasir murni atau awan hujan yang banyak memberikan manfaat.”
Nona Bourini menyelenggarakan pertemuan di kalangan wanita lajang Yordan, berusaha untuk meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat dan menggalang dana bagi proyek yang akan mereka buat, khususnya untuk para wanita yang kurang pendidikan dan tidak memiliki penghasilan. Ia juga mencari donatur.
“Apakah Anda mau menjadi beban masyarakat? Apakah Anda mau orang mengasihani Anda?” Ia bertanya kepada 10 orang wanita dalam sebuah pertemuan di pemukiman miskin sebelah timur kota Amman, pekan lalu.
“Kami ingin Anda bekerja dari rumah. Kami tidak ingin Anda hidup di bawah rasa iba orang lain. Kami tidak ingin menjadi komoditi yang dianggap tidak berguna dan disingkirkan.”
“Benar bahwa kita tidak punya pendukung tempat kita bersandar, tapi kita punya kekuatan.”
Para wanita itu mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang tertarik untuk belajar menjahit.
Suad Awad, 43, adalah salah seorang yang tertarik untuk bergabung dengan komunitas Harraer. “Istri paman, memanggil saya dan saudara perempuan saya dengan perawan tua,” katanya. “Saya merasa tertekan dan sedih.”
Keadaannya tambah parah bagi dirinya, karena ia tidak mempunyai penghasilan. Nona Awad tinggal bersama dengan saudara perempuan dan bibinya di sebuah rumah keluarga. Mereka semua hidup dari uang pensiun saudara perempuannya sebesar USD 160 sebulan.
“Ketika ayah kami masih hidup, ia sangat ketat dan tidak memperbolehkan kami keluar rumah jika tidak perlu. Jadi saya sudah terbiasa hidup seperti ini,” katanya. “Tapi sekarang saya berharap bisa memiliki penghasilan sendiri.”
Ia bilang, dirinya bisa merangkai bunga dan menanam bunga untuk dekorasi, meskipun dirinya menderita rematik.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dalam komunitas, para wanita itu saling mendukung satu sama lain. Nona Dabbas, yang hidup sendiri sejak orangtuanya wafat 10 tahun lalu, mengatakan bahwa komunitas itu memberinya kesempatan berbagi rasa dengan anggota lain yang mempunyai keadaan yang sama. “Sangat nyaman di hati,” katanya.
Noha, 39, adalah wanita yang juga ingin bergabung dengan komunitas Harraer. Ia tinggal dengan orang orangtua dan adik laki-laki. Lima orang saudara laki-lakinya yang lain semuanya sudah menikah, demikian pula saudara kembarannya.
“Ada beberapa calon buat saya sebelumnya, tapi mereka tidak ada yang cocok. Tidak masalah saya belum menikah. Tapi jika ada yang melamar, saya tidak keberatan. Ketika saya melihat ada orang lain yang juga belum menikah seperti saya, agak lega rasanya.”
Sekarang ini Noha merawat ayahnya yang menderita darah tinggi dan sakit penglihatan.
Sementara itu lain halnya dengan laki-laki bujangan. Masyarakat melihat menjadi lelaki bujangan sebagai sebuah pilihan. “Meskipun masyarakat bertanya mengapa mereka belum menikah,” kata Musa Shtewi, Direktur Jordan Centre for Social Research. Ia juga menceritakan tentang ayahnya yang memandang pernikahan sebagai sebuah batu pondasi.”
“Ayah saya berkata ‘Sekarang kamu menjadi laki-laki’ ketika saya menikah 11 tahun lalu pada usia awal 40-an tahun,” katanya. [di/tn/hidayatullah.com]