MATAHARI menyembul takut-takut di balik awan putih agak mendung. Sinarnya setengah sempurna menerangi kawasan timur Kota Balikpapan. Di Jalan Mulawarman, Lamaru, sebuah kendaraan roda dua melintas membelah siang. Jumat (28/03/2014) itu, di atas sepeda motor keluaran Jepang, saya dan Syakir masih membicarakan kejadian sehari sebelumnya.
Selepas diburu sepasang anjing galak, Frangky-Brazil, pada Kamis kemarin, saya tetap bertekad mengunjungi Makam Jepang. Sesuai niatan awal sejak dari Jakarta. Pada kedatangan kedua ini, misi tidak boleh gagal. Usai shalat Jumat di kampung, saya dan Syakir bergegas menuju Lamaru. Kami tinggal di Kelurahan Teritip, berbatasan dengan Desa Amburawang Laut, Kabupaten Kutai Kartanegara. Jarak Teritip-Lamaru sekitar 7 kilometer.
Tiba di jalan paving samping Pantai Lamaru, Syakir tampak masih agak was-was. Jangan-jangan kedua anjing yang mengejar kami kemarin masih menunggu ‘mangsanya’. Saya meyakinkan tetangga saya ini kalau keadaan akan baik-baik saja.
Rupanya kekhawatirkan Syakir tidak berlebihan. Saat mendekati kompleks ‘perumahan’ awal kami dikejar Frangky-Brazil, tampak seekor di antaranya tengah berada di kawasan rerumputan. Jaraknya hanya sekitar 50 meter di sebelah kiri. Begitu motor kami melintas, anjing itu mendongak. Dia awas, menengok ke arah sumber suara kendaraan. Saya mengawasinya. Syakir fokus ke jalanan.
“Itu anjingnya ada di sebelah kiri. Tapi jalan santai aja, nggak usah dilihatin. Pura-pura aja nggak tahu,” ujar saya, tampaknya membuat Syakir kembali was-was. Beruntung tak terjadi apa-apa lagi.
Sebelum tiba di jalan masuk menuju kompleks ‘perumahan’, rupanya ada jalan kecil ke kanan. Jalan tanah setapak ini tidak terlihat oleh kami kemarin. Inilah jalur utama ke tempat tujuan. Dari segi fisik, sama sekali tak ada kesan jika jalan ini menuju Makam Jepang Perang Dunia II. Jalan itu dikelilingi belukar yang kemarin kami terabas. Sebenarnya makam tersebut berada tepat di samping kompleks ‘perumahan’. Cuma untuk ke situ itu harus memutar dengan jarak 30 meteran.
Begitu tiba di depan gerbang makam, saya teringat saat pertama kali ke tempat ini puluhan tahun silam. Kondisinya kini tidak jauh berbeda. Pemandangan pertama yang menarik perhatian adalah sebuah gerbang tinggi besar di depan kompleks makam. Gerbang kayu bercat merah tua itu berkhas Jepang. Di bawahnya, terdapat gerbang kecil berpintu yang “dikunci” dengan ikatan tali. Makam itu dikelilingi pagar kayu rendah.
Di kanan kiri gerbang terdapat dua buah papan keterangan. Tertulis, makam ini dilindungi Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, di bawah Dinas Pemuda Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim). Siang jelang sore itu, suasananya sangat sepi. Di samping makam ada sebuah perkebunan. Di situ terlihat seseorang sedang berkebun. Rupanya dia sang penjaga makam.
Yatikem, penjaga tersebut, menyambut kami dengan dingin. Wanita yang tak tahu tanggal dan tahun kelahirannya ini tidak menarik tarif masuk. Cuma, dia bilang, “Ada untuk uang kebersihan ya?!” ujarnya sebelum membukakan pintu gerbang.
Persahabatan RI – Jepang di Atas Makam
Luas kompleks makam ini sekitar dua kali lapangan futsal. Dilengkapi taman-taman, pepohonan kelapa, dan pinus. Terdapat sebuah aula, sejumlah gazebo, dua buah prasasti. Bangunan utamanya sebuah tugu beton berundak, setinggi 3 meter. Tugu ini bertuliskan huruf kanji dengan ukuran besar.
“Makam Warga Jepang. Kami senantiasa berdoa untuk perdamaian dunia dan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Juli 1990,” demikian tulisan pada prasasti beton di sebelah selatan tugu. Tulisan itu berbahasa Indonesia dengan huruf kapital semua, tampaknya terjemahan dari tiga deret tulisan kanji di atasnya.
Pada prasasti satunya, tulisannya sudah kurang jelas, ditutupi oleh cat hitam tebal. Saya ingat, pada kunjungan pertama puluhan tahun lalu, tulisan itu masih terlihat jelas.
Yang juga berbeda dengan kunjungan kedua saya ini, di atas tugu peringatan itu terdapat tambahan bendera Republik Indonesia dan Kekaisaran Jepang. Bendera-bendera yang digantung berdampingan ini seakan pertanda persahabatan kedua negara yang pernah “dijajah-menjajah”.
Dalam berbagai literatur yang pernah saya baca, disebutkan, makam tersebut dibangun pada tahun 1990 sebagai peringatan gugurnya tentara Jepang pada Perang Dunia II. Puluhan prajurit Jepang juga telah dimakamkan di tempat ini. Para serdadu itu meninggal saat melawan tentara sekutu pimpinan Australia, yang masuk ke Balikpapan lewat jalur laut pada sekitar 26 Juni 1945 – 15 Juli 1945. Tentara Jepang kala itu dipimpin Shizuo Sakaguchi, yang pada 23 Januari 1942 mendarat di kawasan ini dan merebutnya dari tentara Belanda.
“Yang bangun (makam) dulu tuh Jepang. Tapi sekarang kan yang kuasai pemerintah (RI). Jepangnya masih sering ke sini. Kalau yang masang bendera tuh setahun sekali ke sini. Kadang-kadang bulan 8, nggak nentu,” terang Yatikem, wanita asal Jawa Timur ini.
Sebuah media nasional pernah menulis bahwa pada 30 Mei 2013 sedikitnya lima nasionalis Jepang datang ke makam tersebut. Mereka membersihkan daerah tugu peringatan dan berdoa, serta meletakkan papan nama mereka (ukuran tipis tinggi seperti yang ditaruh di kuburan Jepang). Papan itu bertuliskan beberapa yayasan yang ada di Negeri Sakura, semisal Yayasan Kenkyusho Jepang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kami juga melihat, di aula makam itu terdapat dua balok putih pipih yang bertuliskan kanji. Balok-balok berpita itu ditempel pada dua tiang, di atas tangga masuk aula.
Menurut Yatikem, awalnya kuburan tentara Jepang itu ditemukan oleh suaminya, Buniran (70-an tahun, hampir seusia istrinya). Buniran yang hijrah ke Balikpapan bersama Yatikem sekitar tahun 1979 ini lalu didatangi pihak Jepang. Makam tersebut pun dipagari.
“(Suami dan saya) disuruh jaga sekalian. Jadi seumur-umur ini yang jaga (makam) aku,” ujar wanita beranak 4 yang mengaku buta huruf ini.
Dalam kunjungan tersebut, sedikit banyak rasa penasaran saya dengan makam itu terobati. Salah satu alasan saya ke sini ingin tahu langsung dari saksi hidup cagar budaya tersebut. Saya dan Syakir sempat menanyakan perihal kompleks ‘perumahan’ di samping Makam Jepang. Menurut Yatikem, penghuni kompleks tersebut non-Muslim. Kedua anjingnya memang kerap ‘mengganggu’.
“Saya aja pernah (diganggu). Pukul aja anjingnya, Mas!” ujarnya mungkin bergurau, membuat kami tertawa.
Usai mengobrol dengan wanita lanjut usia itu, kami undur diri. Tak lupa menyelipkan selembar uang Rp 10 ribu untuknya. Yatikem menerima dengan senang hati. Jelang waktu shalat Ashar, kami segera meninggalkan Makam Jepang.
Begitu melewati ‘markas’ Frangky dan Brazil, saya dan Syakir tertawa mengingat kejadian kemarin. Semoga di tempat tujuan selanjutnya, tak ada kejadian buruk lagi. Makam Keramat Pulau Tukung menari-nari dalam benak saya.* Bersambung