SENYUMAN khas seorang da’i dalam balutan raut wajah senjanya memancarkan sinar wudhu, itulah kesan pertama ketika saya bertemu Ustad Jamaluddin -رحمه الله- di tepian pantai peradaban Tanjung Jumlai, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, Indonesia.
Saat itu beliau sedang bersilaturrahim ke kediaman kakek dan orangtuaku di desa yang berhadapan langsung dengan selat Makassar tersebut.
Tidak banyak nasehat dalam bentuk kata yang aku dapatkan darinya, karena jarang bertemu dan memang baru-baru saja menjadi tetangga dekat orangtuaku di PPU, setelah sebelumnya berdomisili di ITCI Kenangan, sebuah komplek pabrik kayu besar di Kaltim, tapi pesan moral sering aku dapatkan darinya.
Hidupnya dihabiskan dalam perjuangan tarbiyah dan dakwah Islam, hijrah meninggalkan Sulawesi Selatan lalu bergabung di Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan akhir tahun 70-an, menjadi santri Ustad Abdullah Said -رحمه الله- kemudian tumbuh menjadi da’i yang selalu siap diterjunkan ke medan dakwah.
Tempat tugas terakhirnya adalah Pesantren Hidayatullah Cabang PPU, sebagai pembimbing dan juru dakwah.
Walau sakit tetap sholat berjama’ah di masjid
Seiring dengan usia yang semakin senja, berbagai penyakit datang menguji kesabarannya, komplikasi. Namun penyakit itu tidak menurunkan semangat untuk berdakwah ke masjid-masjid yang jauh dari pesantren.
“Ustad Jamal itu selalu semangat berdakwah, walaupun yang hadir di majelis cuma lima orang, dia ajari juga, baru tidak pernah itu mengeluh kalau jauh tempatnya, padahal ada reumatiknya,” kata Abi Ustad Jamaluddin Ja’far, partner Ustad Jamal ‘Sinjai’ di medan dakwah PPU.
Pelajaran terpenting yang bisa kita petik dari sosok Ustad Jamal ‘Sinjai’ adalah spiritnya menjaga sholat lima waktu berjama’ah di masjid.
Seberat apapun langkah yang ditahan oleh sakit terus beliau lawan dengan langkah pelan tapi pasti. Hadir di masjid sebelum adzan adalah tradisinya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jika langkah kaki sudah tidak mampu menemani ayunan tangan barunya mengendarai sepeda motor menuju masjid. Dan saya menjadi saksi kecil dari puluhan santri dan keluarga yang ada di sana tentang kebaikan ini.
“Selama (saya) masih bisa bangun dari ranjang, insya Allah harus bisa hadir di masjid bersama jama’ah,” begitulah (alm) Ustad Jamal Sinjai, saat saya pernya menyapanya di masjid Aqshol Madinah, Silkar, PPU.
Penyakit yang dideritanya juga tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban sebagai seorang suami dan bapak. Ia bahkan biasa mengambil rumput sendiri untuk memberi makan ternaknya di ladang./bersambung