HARI Selasa (13/12/2016 Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menghadapi dakwaan kasus penodaan agama. Dalam sidang perdana ini, ia membacakan nota keberatan (eksepsi) di depan hakim Dwiyarso Budi Santiarto di Gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Isinya berisi penegasan Ahok yang tak bermaksud menodakan agama. Ia bahkan mengklaim sangat mengenal isi Surat Al Maidah:51.
Sambil menangis, Ahok menceritakan dirinya tak mungkin menodai agama Islam karena menghormati ayah angkatnya yang Muslim.
Islamic News Agency (INA) mewawancarai Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH MH, Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI.
Menurut Anda, apa kelemahan eksepsi dari penasehat hukum Ahok?
Eksepsi tidak fokus, lebih ke arah pembelaan (pledoi). Sangat sedikit menguraikan adanya anggapan Penasehat Hukum tentang Dakwaan Penuntut Umum yang dikatakan kabur/tidak jelas (obscur libel) dll sebagai syarat eksepsi.
Jadi, eksepsi itu sendiri yang justru banyak mengandung ketidakjelasan.
Perlu dicatat, eksepsi tidak boleh masuk ke dalam pokok perkara. Sementara nuansa daripada eksepsi itu sangat kental dengan pembelaan atau pledoi yang sebenarnya tidak bisa disampaikan dengan eksepsi.
Eksepsi Ahok yang mana yang masuk ke dalam pokok dakwaan?
Dalam hal menyatakan bahwa Pasal 156a KUHP itu adalah bersifat komulatif, bahwa huruf a harus pula melibatkan huruf b. Padahal tidak demikian, masing-masing berdiri sendiri, oleh karena itu tdk bersifat komulatif melainkan alternatif. Tegasnya, dalam Pasal 156a KUHP terdiri dari dua bentuk kejahatan yakni pertama sebagaimana diatur dalam huruf a dan kedua sebagaimana diatur dalam huruf b.
Penasehat Hukum juga mengatakan harus ada peringatan/teguran terlebih dahulu, inipun sudah masuk pokok perkara. Perlu diketahui dalam hal penodaan terhadap agama tidak mensyaratkan adanya peringatan terlebih dahulu.
Juga disampaikan ketidakjelasan subjek selaku korban, lagi-lagi ini sudah masuk pokok perkara.
Padahal yang dimaksudkan subjek ini sudah sangat jelas Pasal 156a huruf a KUHP itu menunjuk kepada kepentingan agama. Adapun Pasal 156 KUHP itu ditujukan kepada golongan penduduk yang salah satunya berdasarkan agama. Intinya eksepsi itu sangat jauh daripada yang diharapkan.
Kalau eksepsi dari Penasehat Hukum Ahok banyak yang masuk ke dalam pokok perkara, dampaknya apa?
Saya yakin eksepsi tersebut akan dengan mudah dibantah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim saya yakin akan menolak eksepsi tsb. Kalau eksepsi tidak diterima, maka proses persidangan terus berlanjut.
Penasehat Hukum Ahok mengaitkan asas restorative justice, maksudnya apa?
Restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Namun sangat tidak masuk akal dan tidak relevan dengan perkara ini. Restorative justice adalah suatau tindakan hukum yang memberlakukan hukum pidana sebagai tindakan terlebih dahulu atau yang lebih dikenal dengan ultimum remedium (alat terakhir).
Penasihat Hukum menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip ultimum remedium. Penasihat Hukum telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dengan SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi disebut Pasal 156a adalah delik materil.
Perlu diketahui prinsip ultimum remedium baru dikenal baru-baru ini, sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup, jadi tidak ada kaitannya dengan UU 1 PNPS 1965. Adapun SKB hanya dapat diterapkan untuk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yang menyimpang dari suatu aliran sesat yang menyerupai ajaran agama yang bersangkutan. Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah formil jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebagaimana delik materil.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jadi memang SKB itu memang mirip-mirip dengan ultimum remedium tapi untuk penyalahgunaan agama bukan penodaan.
Dalam eksepsi tim penasehat hukum Ahok menyebut video yang diunggah Buni Yani, menyebut Aksi Bela Islam, apakah ini dinilai sebagai upaya untuk mengalihkan fokus kepada hal-hal yang tidak seharusnya menjadi fokus persidangan?
Iya jelas, itu pengalihan. Apa yang dilakukan oleh Buni Yani melalui pengunggahan video tersebut, itu memang dipotong tapi tidak merubah substansi. Perlu dicatat, berdasarkan hasil uji laboratorium forensic (Labfor), semua yang ada di media baik yang di instagram atau youtube itu sama dengan video aslinya. Itu telah disampaikan oleh penyidik pada saat gelar perkara, dan telah sah menjadi barang bukti.
Jadi bagaimana proses ke depan?
Sudah saya katakan saya yakin majelis hakim akan menolak eksepsi itu dan sidang terus berlanjut sampai Pembacaan Putusan.*