Pengamat menyimpulkan bahwa serangan penyerbuan rumah oleh Israel digunakan terutama sebagai alat untuk “menciptakan pencegahan dan intimidasi untuk meningkatkan kontrol militer atas penduduk”
Hidayatullah.com — Nidal Rajabe mengakui anak-anaknya trauma dan merasa terus menerus ketakutan karena rumah keluarganya di Silwan, Baitul Maqdis yang dijajah sudah beberapa kali diserbu pasukan Zionis ‘Israel’.
“Anak-anak saya tidak bisa tidur nyenyak di malam hari, selalu takut akan serbuan polisi,” kata Rajabe kepada Al Jazeera.
Selama penyerbuan itu banyak keluarganya yang telah ditangkap, termasuk putranya berusia 17 tahun bernama Harby. Ia yakin penyerbuan ke rumah bertujuan untuk mengintimidasinya.
Rajabe adalah satu dari lebih dari 1.500 warga Palestina di Silwan yang menghadapi ancaman penggusuran rumah dan pengusiran paksa.
‘Israel’ mengklaim bahwa perintah penggusuran dikeluarkan untuk orang-orang yang membangun properti tanpa izin bangunan.
Warga dan kelompok hak asasi manusia Palestina berpendapat ‘Israel’ membuat persyaratan mendapatkan izin bangunan hampir tidak mungkin didapatkan oleh orang Palestina. Mereka sepakat bahwa kebijakan ini adalah rencana sengaja untuk Yahudisasi Yerusalem Timur.
Toko daging Rajabe digusur pada bulan Juli karena tidak memiliki izin bangunan. Rumahnya juga terancam mengalami hal yang sama karena alasan yang sama.
Ketika pasukan ‘Israel’, bersama buldoser, menyerbu tokonya untuk melakukan penggusuran, Rajabe mengatakan dia dan beberapa saudaranya diserang dan dipenjara selama beberapa hari karena menolak penangkapan.
Putra Rajabe, Harby, bahkan ditembak dari belakang oleh ‘Israel’ selama protes menentang penggusuran. Dia menjalani operasi untuk mengeluarkan pecahan peluru dari organ internalnya setelah peluru meledak di bagian dalam. Dia sekarang kesulitan untuk berjalan.
“Harby sangat trauma dengan pengalamannya, tetapi begitu juga anak-anak saya yang lain: Ahmed, 17, Marwa, 13, dan si kembar Muhammad dan Bisan, 9, dan itu telah memengaruhi perilaku mereka,” kata Rajabe kepada Al Jazeera.
Kelompok HAM dan penasihat medis mengatakan penyerbuan rumah oleh ‘Israel’ memiliki efek mengerikan pada kesehatan mental anak-anak Palestina.
Dalam laporan berjudul A Life Exposed yang diterbitkan akhir tahun lalu oleh tiga organisasi hak asasi manusia ‘Israel’ – Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel, Yesh Din dan Breaking the Silence – mendokumentasikan dampak kesehatan mental yang mengerikan, termasuk pada anak-anak, dari serangan Israel di rumah-rumah Palestina di wilayah penjajahan Tepi Bank.
Laporan tersebut merupakan hasil penelitian selama tiga tahun yang melibatkan 158 wawancara warga Palestina yang mengalami penyerbuan rumah, serta 40 serdadu Zionis yang melakukannya.
“Ancaman kemungkinan penyerbuan yang selalu ada membuat kebijakan ini menjadi alat kekerasan dan opresif yang berfungsi sebagai elemen sentral dalam sistem kontrol Israel atas penduduk Palestina,” kata para peneliti – menambahkan bahwa “invasi rumah dapat secara serius menghambat fungsi sehari-hari dan perkembangan emosi dan mental baik orang dewasa maupun anak-anak”.
Penyerbuan rumah biasanya berlangsung 80 menit, melibatkan mulai dari segelintir tentara hingga sekitar 30, dan biasanya dilakukan pada malam hari.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kelompok HAM mengatakan pasukan ‘Israel’ melakukan penyerbuan rumah Palestina untuk mencari uang, senjata atau barang-barang lainnya. Penangkapan, identifikasi rumah dan penghuninya juga menjadi pemicu hal tersebut.
Sementara militer mengklaim serbuan ini untuk alasan keamanan, penulis laporan menyimpulkan bahwa mereka digunakan terutama sebagai alat untuk “menciptakan pencegahan dan intimidasi untuk meningkatkan kontrol militer atas penduduk”.
Sebuah editorial di jurnal BMJ Pediatrics Open yang diterbitkan minggu lalu mengatakan bahwa cara penyerbuan rumah dilakukan adalah pelanggaran terhadap Konvensi PBB tentang Hak Anak – yang telah diratifikasi ‘Israel’.
“Penyerbuan rumah oleh militer Israel ditandai dengan penggunaan kekuatan yang tidak dapat dibenarkan dan berlebihan, kesewenang-wenangan, ketidakpastian dan frekuensi, membuat keluarga dan individu rentan terhadap keputusan tentara, yang memegang kekuasaan besar,” tulis editorial tersebut.*