Sambungan artikel PERTAMA
Hawwa menjelaskan bahwa ketika terjadi bentrokan antara warga Palestina dan milisi Zionis mendekat, serta semakin dekat ke al-Thahiryeh pada 1948, keluarganya memutuskan untuk pergi ke al-Lydd, dimana mereka menghabiskan 10 hari di sana sebelum mereka harus mengemasi tas-tas mereka lagi.
“Kami hanya membawa beberapa peralatan masak yang digunakan untuk memasak makanan, kami tidak membawa banyak pakaian, dan kami meninggalkan perhiasan kami di rumah. Kami berpikir kami akan kembali dalam beberapa hari,” kata Hawwa kepada Al Jazeera.
Ia menggendong bayi lelakinya Hassan di tangannya ketika suara ledakan dan tembakan meletus di kota al-Lydd pada 10 Juli 1948.
Teriakan, rasa takut dan panik bergema di seluruh jalan saat pasukan Zionis menyerang al-Lydd, membantai sekitar 170 orang di masjid kota tersebut.
Hawwa dan keluarganya melarikan diri ke desa terdekat, al-Midya, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun berpindah-pindah karena pertempuran meluas dari satu area ke area berikutnya. Mereka akhirnya berakhir di desa Nilin, barat Ramallah di Tepi Barat terjajah, tempat kini ia tinggal.
“Al-Thahiryeh adalah Surga,” katanya. “Kami punya segalanya di sana –kami bahagia dan nyaman, serta luar biasa diberkahi. Kami kehilangan semuanya ketika kami kehilangan al-Thahiryeh.”
Hawwa, yang suka menegaskan bahwa dirinya lebih tua dari ‘Israel’, masih menyimpan koleksi kunci-kunci dan dokumen-dokumen yang membuktikan kepemilikan tanah keluarganya di al-Thahiryeh dan al-Lydd.
Ketika menggambarkan bagaimana perasaannya kembali ke desanya, Hawwa mengatakan perasaannya campur aduk antara kesedihan dan kebahagiaan. “Rasanya seperti desa ini milik kami lagi, bahkan jika hanya beberapa jam,” katanya.
Putrinya, Khawla, yang lahir beberapa tahun setelah Nakba, mengembalikan botol pasir dan beberapa batu dari desa tersebut.
“Ini kenang-kenangan yang saya akan tinggal untuk kembali,” katanya pada Al Jazeera.
‘Saya mengingatnya seakan-akan itu terjadi kemarin’
Amena Sanqar, salah satu dari wanita lansia yang ikut dalam kelompok tersebut, mengunjungi desanya Beit Nabala, yang ia tinggalkan saat berusia 17, puluhan tahun lalu.
Perjalanan dan berjam-jam pemeriksaan di pos pemeriksaan ‘Israel’ melelahkan Amena, tapi ketika ia berada di Beit Nabala, ia mengatakan bahwa semangatnya kembali membara.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sanqar, ibu dari delapan anak dan nenek 41 cucu ini, mengatakan ia ingat hari ketika keluarganya meninggalkan desa mereka akibat perang.
“Ayah memegang tangan saya, sementara ibu saya berjalan di depan kami, membawa tas-tas di kepalanya,” jelasnya.
Seperti halnya al-Thahiryeh, Beit Nabala sepenuhnya musnah.
“Pohon-pohon dihancurkan, dan tidak ada seorang pun yang merawat mereka…pemandangan seperti itu menghancurkan hati saya,” katanya.
“Kami dan keluarga-keluarga di desa terus berjalan secepat mungkin menjauh dari tembakan hingga kami sampai di Desa Qibya,” ungkap Sanqar, menggambarkan hari ketika mereka meninggalkan desa agar luput dari pertempuran.
“Saya masih mengingatnya seakan-akan itu terjadi kemarin.”*