Hidayatullah.com– Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yakin Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Habib Rizieq Shihab (HRS) sudah memenuhi seluruh mekanisme Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Jadi tidak ada alasan meragukan itu,” ujarnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Senin (18/06/2018).
Ia meyebutkan, ada tiga mekanisme diterbitkannya SP3 dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.
Pertama, peristiwa yang disidik bukan peristiwa pidana. Kedua, alat bukti tidak cukup atau kurang. Ketiga, harus dihentikan demi hukum karena wafatnya tersangka, nebis in idem, daluarsa penuntutannya.
Tapi lazimkah SP3 diterbitkan ketika HRS belum diperiksa sebagai teersangka?
Fickar menjelaskan, dalam KUHAP, dikenal tiga modus mekanisme pemeriksaan saksi atau tersangka.
Pertama, memeriksa sendiri di tempat penyidik; kedua, penyidik mendatangi tempat saksi atau tersangka seperti pemeriksaan Sri Mulyani ketiksa masih menjabat Direktur IMF, atau yang ketiga, penyidik mendelegasikan pemeriksaan kepada penyidik setempat dimana saksi atau tersangka berada, termasuk mendelegasikan pada atase kepolisian jika saksi atau tersangka berada di negara lain.
“Alasan tidak ditemukannya peng-upload chat HRS itu artinya kurang alat buktinya yang memang bisa menjadi alasan SP3,” kata Fickar.
Tapi secara teori, kata dia, SP3 bisa dibuka kembali jika ditemukan bukti baru. “(Namun) dalam praktik, tidak pernah terjadi,” tuturnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ia mengingatkan, hukum jangan ditempatkan sebagai alat kekuasaan untuk mengkriminalisasikan seseorang atau pihak tertentu yang tidak disukai. Juga jangan untuk menghindarkan kesan dengan “mudah” proses hukum dihentikan tanpa alasan yang jelas.
“Sayangnya memang hukum itu tidak berada di ruang hampa atau steril dari perseliweran atau saling berkelindannya kepentingan termasuk kekuasaan politik,” pungkasnya.* Andi