Hidayatullah.com– Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan, pada hakikatnya utang bukan suatu hal yang haram asalkan penggunaannya tepat.
Hanya saja masalahnya, kata dia, utang pemerintah yang diklaim masih aman karena hanya 29,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) belum bisa meningkatkan produktivitas ekonomi.
Menurut Bhima, penilaian tersebut sangat mungkin adalah klaim yang keliru. Karena seharusnya utang sebagai leverage (daya ungkit) mestinya berkorelasi positif terhadap sektor produktif.
Ia menjelaskan, salah satu indikator menilai produktivitas ekonomi adalah kinerja ekspor dan industri manufaktur. Pasalnya, dalam 3 bulan berturut-turut neraca perdagangan tercatat terus mengalami defisit, dari Desember 2017 hingga Februari 2018 kinerja ekspor bulan Februari pun anjlok 3,14 persen dibanding bulan Januari.
Baca: Sri Lanka Negara Asia Pertama Masuk Perangkap Utang China
Sementara, lanjut Bhima, banjir impor tidak terbendung. Dan tren defisit perdagangan diprediksi akan terus berlanjut hingga Mei-Juni saat Ramadhan, dimana impor barang konsumsi secara seasonal (musiman) meningkat.
“Melihat hal ini wajar apabila terjadi diskonektivitas alias enggak nyambung antara utang naik dan kinerja ekspor. Toh kalaupun ekspor naik itu karena harga secara global batubara dan CPO sedang membaik, bukan karena ekspor industri bernilai tambahnya meningkat,” paparnya kepada hidayatullah.com, Senin (26/03/2018).
Indikator lain, lanjutnya, adalah kinerja industri manufaktur yang loyo. Industri manufaktur dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terus mengalami deindustrialisasi alias porsinya anjlok terhadap PDB.
Baca: Proyek Kereta Api Cepat Justru Sebabkan Hutang Negara Bertambah
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Bhima menerangkan, tahun 2017 porsi sektor manufaktur hanya 20,16 persen dari PDB, turun dibanding tahun 2008 yakni 27,8 persen. Dan pertumbuhan sektor manufaktur juga berada di bawah pertumbuhan PDB.
“Sehingga deindustrialisasi dini ini akibat sektor manufaktur kurang diperhatikan,” imbuhnya.
Paket kebijakan yang jumlahnya 16, menurut Bhima, juga hanya memberi iming-iming ke investor dan pelaku industri, karena faktanya di lapangan banyak paket macet. Padahal 14 persen tenaga kerja terserap ada di sektor manufaktur.
“Jadi perlu dipertanyakan, utang yang naik itu sebenarnya kemana larinya?” pungkasnya.*