Hidayatullah.com– Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasukkan aliran kepercayaan ke dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
“Kita sebenarnya menyesalkan ya MK yang tidak memahami denyut nadi keagamaan seperti ini dengan menghasilkan keputusan kolom agama dan kepercayaan,” ujarnya dalam pengajian bulanan Muhammadiyah kemarin di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat.
Ketika ada persoalan krusial seperti itu, saran dia, lebih baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan, dan berbagai pihak diajak bicara. Agar ada solusi dan titik temu.
Baca: Din Syamsudin: Adanya Kolom Agama di KTP Justru Banyak Maslahatnya
Memang, kata dia, keputusan MK secara konstitusional sudah final, akan tetapi semestinya para penyelenggara negara dan hakim MK memahami betul sosiologi hukum di balik keputusan hukum yang yuridis dan verbal.
Tidak bisa persoalan agama dilihat secara positivistik. Harus melihat dari aspek esensi, substansi, nilai dasar, dan suasana kebatinan bangsa Indonesia yang memang beragama. “Agama itu menjadi bagian penting bagi kehidupan bangsa,” terangnya.
Naif, menurutnya, kalau ada ahli yang mengeluarkan istilah agama impor dan agama pribumi. “Kayak barang.”
Ia mengatakan, semua manusia itu sebenarnya beragama. Ada dua fitrah Allah yang diturunkan kepada manusia. Pertama fitrah berupa ruh beragama yang ada di dalam diri manusia, dan yang kedua, fitrah berupa wahyu yang dibawa para Nabi, yang kemudian menjadi agama Islam.
“Maka tidak akan ada istilah orang beragama impor dan agama ekspor segala macam,” jelasnya sekali lagi.
Baca: Pencantuman Penghayat Kepercayaan di KTP, Pemerintah Harus Siap Dampaknya
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ia memandang, sebagian elit kadang tidak mau belajar selak-beluk agama yang sangat mendasar seperti itu. Masalahnya, kata Haedar, kalau salah pandang itu bersifat akademik dan tidak membawa implikasi dalam keputusan negara, itu masih mending. Sebab masih bisa didialogkan.
“Tetapi ketika membawa implikasi pada keputusan publik dan itu mengikat seluruh warga negara, bahkan menjadi hukum positif di negara ini. Ini memang bisa menjadi bermasalah,” pungkasnya.* Andi