Hidayatullah.com– Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, dalam rapat kerja (Raker) Tk I RUU Penetapan Perppu Ormas dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), menegaskan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) konsisten menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Kendati demikian, Mardani mengatakan, FPKS siap membahas lebih lanjut untuk membahas dan mendengar masukan tambahan argumentasi dari para pakar dan organisasi kemasyakaratan yang akan dihadirkan di Komisi II DPR RI pada hari ini dan besok, 17-19 Oktober 2017.
“Bismillahirrohmanirrohim, Kami Fraksi PKS menyatakan tegas menolak RUU Penetapan Perppu Ormas menjadi Undang-Undang,” ujar Mardani di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (16/10/2017).
Setidaknya ada 6 poin landasan FPKS menolak Perppu Ormas, sebagaimana rilis diterima hidayatullah.com, Selasa (17/10/2017).
Baca: ELSAM: Jika DPR Paham Substansi Bahaya Perppu Ormas, Bisa Dicari Kompromi Polemiknya
Pertama, FPKS menilai, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi urgensi “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Mardani menjelaskan, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat telah diatur tentang prosedur pemberian sanksi terhadap Ormas yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian, penerbitan Perppu Ormas ini tidak memenuhi prasyarat prosedural yang ditetapkan, karena pada praktiknya UU tentang Ormas telah memadai sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.
Kedua, FPKS menilai, Perppu Ormas melakukan pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam Konstitusi. Pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang diakomodasi dalam Perppu Ormas sangatlah mengancam kehidupan demokratis dalam negara hukum.
Ketiga, FPKS menilai, Perppu Ormas mengandung ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan.
“Misalnya, dalam hal norma tentang larangan bagi Ormas dalam berkegiatan, yang meliputi pula larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang (Pasal 59 Ayat (4),” ungkapnya.
Baca: Koalisi Masyarakat Sipil: Perppu Ormas Bertentangan dengan Negara Hukum
Keempat, FPKS menilai, Perppu Ormas berpotensi memunculkan rezim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas.
Hal yang dinilai sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perppu Ormas sehingga menjadikan Perppu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia, adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran Ormas dan diambil alih oleh Pemerintah.
Selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, dalam Perpu ini juga Pemerintah dinilai menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Kelima, FPKS menilai, Perppu Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi.
Melalui Perppu Ormas ini, Pemerintah dinilai menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas, menjadi pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Pemberian sanksi pidana ini tentu memperberat pemidanaan dalam tindak pidana penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama,” imbuhnya.
Dijelaskan, dalam Pasal 156 a KUHP berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditegaskan, perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Pemberatan sanksi pidana dalam perkara penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama dalam konteks pelanggaran Ormas yang diatur dalam Perppu Ormas ini dinilai tidaklah tepat, karena tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama.
Selain itu, ketentuan ini dinilai sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang tertentu dengan dalih penodaan terhadap agama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Bahkan, ketentuan ini dapat dijadikan celah untuk memberangus kegiatan Ormas dengan mengkriminalisasikan anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut dengan menggunakan pasal tentang penodaan agama ini,” imbuhnya.
Baca: Anggota DPR Diminta Dengar Aspirasi Rakyat untuk Tolak Perppu Ormas
Keenam, masih tambah Mardani, Perppu Ormas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 37. “Perppu Ormas ini bertentangan dengan Konstitusi,” imbuhnya.
Hal ini katanya, dibuktikan pada Pasal 59 ayat 4 huruf c, Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam penjelasan pasal tersebut, ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah yang ingin mengubah Konstitusi.
“Seharusnya yang menyusun dan menetapkan Perppu ini memahami bahwa Pancasila berbeda dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang bisa diamandemen sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentu pada prosesnya akan meminta masukan dan aspirasi dari ormas dan masyarakat,” ujar dia.
Jika penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf c tersebut diberlakukan, maka Ormas manapun yang memberikan masukan perubahan/amandemen Konstitusi ke Gedung MPR dapat dibubarkan dan dipidanakan. “Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya.*