Hidayatullah.com– Meski sudah ada peraturan dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang wakaf di Indonesia, namun dinilai masih ada upaya-upaya untuk mengambil alih aset wakaf.
“Adanya upaya semacam ini menyebabkan status aset wakaf, terutama tanah, menjadi tidak clean and clear (artinya: masih dalam sengketa, tidak ada kepastian hukum), sehingga aset wakaf tidak bisa dikelola dan dikembangkan dengan maksimal,” ungkap Ketua Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia (BWI), Khaerul Huda, dalam keterangan tertulis diterima hidayatullah.com, Jumat (08/09/17) di Jakarta.
Baca: BWI: Wakaf Instrumen Tertinggi dalam Sejarah Peradaban Ekonomi Islam
Aset tanah wakaf dengan status tersebut, katanya, tidak bisa dikerjasamakan pihak investor untuk diproduktifkan.
Padahal, sambung Khaerul, jika sudah clear and clean, tanah wakaf bisa diproduktifkan bekerja sama dengan investor dan hasilnya disalurkan untuk mauquf alaih (masyarakat penerima manfaat- Red).
Oleh karena itu, terangnya, negara harus hadir untuk mengamankan dan melindungi aset wakaf.
“Kehadiran negara bisa bersifat preventif maupun ketika sudah ada kasus di pengadilan. Misalnya, jika nazhir atau masyarakat melaporkan kepada kepolisian bahwa tanah wakaf diduduki pihak lain, dan pelapor bisa memperlihatkan bukti akta ikrar wakaf atau sertifikat wakaf, kepolisian seharusnya segera melindungi tanah wakaf itu,” jelasnya.
Baca: Ketua Dewan Ahli BWI: Potensi Wakaf di Indonesia Cukup Besar
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Selain itu, Khaerul meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa mempercepat sertifikasi tanah-tanah wakaf di seluruh Indonesia.
“Pasalnya, sertifikat wakaf merupakan salah satu pengaman aset wakaf yang cukup kuat,” imbuhnya.
Kehadiran BPN, kata Khaerul, menunjukkan perhatian negara pada tanah wakaf.* Ali Muhtadin