Hidayatullah.com– Ketua Umum Aliansi Advokat Muslim NKRI, Alkatiri menilai, majelis hakim dalam memutuskan kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), harus berani menerobos paradigma positivistik hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistik dan filosofis.
“Sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin sebagai ‘moral reading’, sebagai ‘dekonstruksi hukum’ oleh Jacques Derrida, atau juga ‘progresivisme hukum’ sebagaimana diajarkan oleh Satjipto Rahardjo,” ujarnya sebagaimana keterangan yang diterima hidayatullah.com Jakarta, kemarin.
Intinya, kata dia, hakim harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum.
Selain itu, terkait beberapa kebuntuan yang terjadi dalam kasus Ahok ini, Alkatiri menduga adalah suatu yang disengaja dan telah disiasati.
Seperti, ia menjelaskan, antara lain menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965. Dimana ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh penasihat hukum Ahok menyebut harus dibuktikan.
“Di sini hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang,” tukasnya.
Mengutip pendapat pakar hukum, seperti Hazewinkel Suringa, Simons, Van Hamel, Zeverbegen, Alkatiri memaparkan, bahwa niat adalah identik dengan kesengajaan. Dan jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat telah berubah menjadi kesengajaan.
“Dengan demikian, perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja,” ungkapnya.
Selanjutnya, terang Alkatiri, yang selalu didalilkan oleh Penasihat Hukum Ahok, termasuk Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan, bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh Majelis Hakim. Pendapat demikian, menurutnya, bermuatan paham positivistik.
Ia menjelaskan, penggolongan penduduk terjadi pada masa kolonialisme. Karenanya, pasca Indonesia merdeka penggolongan tersebut tidak berlaku lagi. Sebab, ketentuan penggolongan penduduk di masa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD tahun 1945.
“Terlebih lagi saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,” imbuhnya.
Baca: Majelis Hakim Diingatkan Perlunya Penista Agama Dihukum Maksimal
Selain itu, lanjut Alkatiri, penafsiran sistemik dan historis yang menunjuk adanya hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP juga penting dilakukan. Kedua pasal tersebut, kata dia, ditinjau dari teori kesengajaan sangat terkait dan ada hubungan antar keduanya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Oleh karenanya, terang Alkatiri, menjelang putusan vonis atas Ahok, Majelis Hakim semestinya mengedepankan keadilan hukum ketimbang kepastian hukum. Hakim harus berani bersikap progresif dalam memutus perkara yang penuh dengan rekayasa kepentingan politik.
Ia menegaskan, dalam setiap putusannya, hakim tidak hanya menggali materi hukum yang ada dalam undang-undang, namun juga dituntut selalu menggali dengan mengedepankan moral dan hati nuraninya.
“Dalam dunia akademik putusan Majelis Hakim masih dapat ‘diuji’ dengan standar akademik pula. Di sini berlaku penerimaan atas putusan Hakim dalam wilayah hukum sebagai kenyataan. Semoga keadilan mewujud dalam putusan Majelis Hakim yang mulia,” pungkas Alkatiri.*