Hidayatullah.com– Lembaga pelayanan kesehatan nasional Islamic Medical Service (IMS) menolak keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. PP ini dinilai kontoversial, sebab di dalam pasalnya memperbolehkan aborsi bagi perempuan yang hamil akibat pemerkosaan.
Menurut IMS, sekilas PP tersebut sangat manusiawi khususnya terhadap korban pemerkosaan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah setelah dilakukan aborsi, masalah psikologi para korban pemerkosaan akan selesai atau malah bertambah?
“Siapa yang menjamin bahwa adanya PP tersebut tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melegalkan free sex (seks bebas), dan melegalkan tindakan aborsi baik oleh calon pasien maupun para tenaga medis untuk melakukan malpraktek?” ujar Direktur IMS Drg Fathul Adhim, M.KM di Jakarta melalui rilisnya kepada Hidayatullah.com, Kamis (21/8/2014) malam.
Fathul mengatakan, sebelum ada PP ini saja kehidupan seks bebas khususnya dikalangan muda-mudi sudah sangat akut. Apalagi sesudah adanya PP tersebut.
“Sudah pasti pergaulan bebas yang menjerumuskan free sex akan semakin menjadi-jadi,” ujarnya.
Alasannya, jelas Fathul, PP tersebut bisa jadi dalih para penikmat seks bebas untuk melakukan aborsi.
“Karena secara tidak langsung akan mendidik mereka para remaja bahwa kalau setelah melakukan free sex, selanjutnya dinyatakan hamil, maka dengan leluasa para penikmat free sex tersebut akan memilih ke dokter mana saja untuk minta digugurkan kandungannya dengan cara legal, dengan alasan yang sangat mudah yaitu diperkosa,” ujarnya.
Tak Sembuh dengan Aborsi
Secara psikologis, Fathul menyatakan, tidak mudah menyembuhkan masalah kejiwaan para korban pemerkosaan. Bahkan sebaliknya, mereka bisa terkena “Sindrom Pasca Aborsi”.
“Salah satu gejalanya adalah akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya. Wanita yang melakukan aborsi tersebut tiba-tiba berteriak-teriak histeris, mimpi buruk berkali-kali dan lain-lain gejala yang sangat mengganggu kejiwaan mereka,” bebernya.
Walaupun, lanjutnya, menurut PP tersebut tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
“Masalahnya, siapa yang menjamin bahwa usia kandungan yang diaborsi usianya paling lama berusia 40 hari? Apalagi bayi hasil perkosaan bukan yang patut disalahkan atau bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh ayahnya, tetapi bayi itu berhak untuk tetap hidup,” ujarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurut penelitian dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebut Fathul, perilaku seks bebas sudah merajalela tak hanya di kawasan Jakarta.
“Di beberapa kota besar lainnya, bahkan di Surabaya seks pra nikah mencapai 54 persen, disusul Medan sebanyak 52 persen, dan Bandung sebanyak 47 persen,” ungkapnya mengutip data lembaga tersebut.
“IMS justru meminta agar akar permasalahan dari tindakan aborsi tersebut, harus lebih dahulu diprioritaskan penanggulangannya. Yaitu membatasi pergaulan bebas dan menghukum seberat-beratnya bagi perilaku hubungan seks bebas termasuk bagi para pemerkosa,” pungkasnya.*