Sambungan artikel PERTAMA
Jurnalis diberikan foto-foto yang seakan ‘menangkap’ orang-orang Muslim sedang membakar rumah mereka sendiri.
Namun BBC kemudian mengidentifikasi perempuan yang sama di sebuah desa Hindu.
Saya bertanya apakah dia mengatakan bahwa semua desa yang terbakar yang berjumlah puluhan itu dihancurkan oleh milisi. Dia menegaskan bahwa itulah posisi pemerintah.
Menanggapi sebuah pertanyaan tentang kekejaman militer, dia menepiskannya. “Mana buktinya?” tanyanya.
“Lihatlah perempuan-perempuan itu,” yang dimaksudnya adalah perempuan pengungsi Rohingya: “siapa yang membuat klaim ini – siapa memangnya yang mau memperkosa mereka?”
Sejumlah warga Muslim yang dapat kami temui di Maungdaw, kebanyakan terlalu takut untuk berbicara di depan kamera.
Saat bisa lolos dari para petugas yang menguntit, kami berhasil berbicara dengan beberapa orang yang mengatakan betapa beratnya hidup mereka: tidak diizinkan meninggalkan lingkungan mereka oleh pasukan keamanan, betapa mereka kekurangan pangan, dan betapa mereka dicekam ketakutan.
Seorang pemuda mengatakan bahwa mereka ingin melarikan diri ke Bangladesh, namun para pemimpin mereka telah menandatangani sebuah kesepakatan dengan pihak berwenang untuk tetap tinggal.
Di pasar Bengali yang sekarang sepi, saya bertanya kepada seorang pria apa yang dia takutkan. Pemerintah, katanya.
Kolonel Phone Tint bersikeras bahwa pelaku pembakaran seluruh desaitu adalah milisi Muslim.
Tujuan utama perjalanan kami di luar Maungdaw adalah kota pesisir Alel Than Kyaw. Ini salah satu tempat yang diklaim diserang oleh milisi ARSA pada 25 Agustus dini hari.
Saat kami mendekati kota itu, kami melalui desa demi desa, semuanya benar-benar kosong. Kami melihat kapal-kapal yang ditinggalkan, kambing dan sapi. Tidak ada orang.
Alel Than Kyaw telah diratakan ke tanah. Bahkan sebuah klinik, dengan plang yang menunjukkan bahwa klinik itu dikelola oleh badan amal Medecins Sans Frontieres (Dokter Lintas Batas), telah hancur.
Di sebelah utara, di kejauhan kami bisa melihat empat gulungan asap yang membumbung naik, dan terdengar semburan tembakan senjata otomatis. Ada desa-desa yang sedang dibumi-hanguskan, kami menduga.
Letnan Polisi Aung Kyaw Moe menjelaskan kepada kami bahwa dia sudah mendapat peringatan terlebih dahulu akan adanya serangan tersebut.
Baca: Al Azhar Mesir Mengutuk ‘Kegagalan Hati Nurani Internasional’ terhadap Rohingya
Dia lebih dulu membawa penduduk non-Muslim ke baraknya untuk dilindungi, dan kemudian pasukannya dturunkan menghadapi gerilyawan yang membawa senjata api, parang dan bahan peledak rakitan selama tiga jam sampai mereka dipukul mundur.
Setidaknya 17 milisi dan seorang petugas imigrasi tewas. Warga Muslim desa itu melarikan diri tak lama kemudian.
Namun dia kesulitan menjelaskan mengapa sebagian kota masih terbakar, dua minggu setelah serangan tersebut, di musim hujan pula. Mungkin sejumlah Muslim tetap tinggal, dan kemudian membakar rumah mereka sebelum pergi baru-baru ini, jawabnya kurang meyakinkan.
Kemudian, dalam perjalanan pulang dari Alel Than Kyaw, sesuatu yang sama sekali tidak direncanakan terjadi.
Kami melihat asap hitam membumbung dari balik pepohonan, di tepi sawah. Itu sebuah desa lain yang letaknya tepat di pinggir jalan. Dan kebakaran baru saja dimulai.
Kami semua berteriak kepada polisi pengawal kami untuk menghentikan mobil. Begitu mobil berhenti, kami langsung berlari menuju desa itu, meninggalkan pengawas kami yang kebingungan.
Polisi ikut bersama kami, tapi kemudian menyatakan tidak aman masuk ke desa. Jadi kami pergi mendahului mereka.
Terdengar suara benda terbakar dan gemeretak di mana-mana. Pakaian perempuan, yang jelas-jelas Muslim, bertebaran di jalan berlumpur. Dan ada pemuda-pemuda berbadan kekar, memegang pedang dan parang, berdiri di jalan setapak, bingung melihat 18 wartawan berkeringat bergegas menuju mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Mereka mencoba menghindar dari kamera, dan dua dari mereka berlari memasuki desa, menginstruksikan orang-orang trakhir mereka untuk segera keluar dengan tergesa-gesa.
Baca: Penjual Roti di Turki Donasikan Pendapatannya Selama 2 hari untuk Rohingya
Mereka mengaku bahwa mereka adalah kelompok Buddha Rakhine. Salah satu rekan saya berhasil melakukan percakapan singkat dengan salah satu dari mereka, yang mengaku bahwa mereka membakari rumah-rumah itu, dibantu polisi.
Saat kami masuk, kami bisa melihat atap sebuah madrasah yang baru saja dibakar. Buku sekolah dengan aksara Arab dikeluarkan. Jeriken plastik kosong, berbau bensin, tertinggal di jalan setapak.
Desa itu bernama Gawdu Thar Ya. Itu adalah desa Muslim. Tidak ada tanda-tanda penghuninya. Pemuda-pemuda Rakhine yang telah membakar desa itu bergegas keluar, melewati para polisi yang mengawal kami, beberapa membawa barang-barang rumah tangga yang mereka jarah.
Pembakaran itu terjadi di dekat sejumlah barak polisi yang besar. Tidak ada yang melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan semua itu.*