ALI Ghanem yang menderita kanker mendapat penjelasan dari para dokter yang merawatnya, kankernya telah menyebar dari usus ke tulang belakangnya, dan rumah sakit di Taiz, Yaman tengah, tidak memiliki fasilitas untuk melakukan perawatan radiasi yang diperlukan. Untuk itu Ghanem diminta mencari pengobatan ke ibukota.
Tapi Ghanem terjebak. Pemberontak Syiah telah mengepung Taiz selama lebih dari satu tahun. Kota ini telah menjadi medan perang antara pemberontak dan pejuang lokal yang didukung serangan udara Arab Saudi dan sekutunya. Anaknya, Abdel-Maged (25 tahun) kepada The Associated Press (AP), yang dilansir NST Online, Kamis (19/5/2016), mengatakan, ia tidak bisa membawa ayahnya berjalan kaki sepanjang lima kilometer keluar kota untuk mencari kendaraan guna membawa mereka ke Sana’a, ibukota Yaman.
“Ayah tidak bisa bergerak,” katanya. “Dokter mengatakan kepada kami untuk menjaga dia di rumah sampai ia meninggal dengan tenang.”
Ghanem, seorang apoteker berusia 53 tahun, meninggal pekan lalu. Anaknya berbicara kepada AP setelah kembali dari kuburan.
Perang sipil di Yaman telah mendatangkan kerusakan besar dan menciptakan bencana kemanusiaan di negara termiskin di kawasan Arab ini. Taiz merupakan salah satu medan perang terburuk. Dan di kota ini terdapat rumah sakit kanker terbesar di Yaman, bernama Rumah Sakit Amal.Akibat perang ratusan pasien meninggal akibat tidak mendapatkan perawatan semestinya.
Bahkan Rumah Sakit Amal pun menjadi ajang medan perang. Musim panas lalu, pemberontak Syiah, yang dikenal sebagai Houthi, menyerbu fasilitas rumah sakit.
Pemberontak Syiah menyatakan, rumah sakit itu merupakan zona militer. Penembak jitu mengambil posisi di atapnya, tank di sekelilinginya, dan karung pasir didirikan sebagai pertahanan dari serangan pejuang lokal. Hal ini menyebabkan staf rumah sakit dan pasien harus pindah ke ruang bawah tanah untuk menghindari mortir, peluru, dan pecahan peluru.
Beberapa saat kemudian, penentang Houthi merebut kembali gedung rumah sakit, mengusir para pemberontak. Tetapi pemberontak Houthi masih memberi perlawanan dengan menembaki bangunan rumah sakit dengan artileri dari bukit-bukit sekitarnya.
Rumah sakit yang namanya berarti “harapan”, sebelumnya dalam setahun merawat 5.600 pasien kanker. Kondisinya sekarang hampir hancur, dengan dinding -dinding rontok, tempat tidur pasien hangus, dan peralatan hancur.
Lantas dengan hanya menyelamatkan data pasien dan tiga mesin, para staf memindahkan rumah sakit ke gedung baru di pusat perbelanjaan di pusat kota Taiz. Di gedung ini rumah sakit menerima hingga 50 kasus per hari, sepertiga dari jumlah yang dibutuhkan di masa lalu, dengan hanya 20 tempat tidur.
Sekarang pasien memiliki beberapa pilihan. Jika mereka berani menembus blokade untuk mendapatkan fasilitas pengobatan di tempat lain, atau mencoba melarikan diri dari Taiz, dibutuhkan berjalan kaki untuk menghindari blokade Houthi, kemudian baru mendapatkan transportasi untuk mendapatkan perawatan onkologi (rumah sakit khusus kanker) di Sanaa sejauh 200 kilometer. Itu pun masih kemungkinan ditumbuk serangan udara dan melewati kawasan pertempuran. Kalau tidak berani keluar dari Taiz, pasien hanya bisa tinggal di rumah dan menunggu untuk meninggal.
Lebih dari 640 pasien kanker yang dirawat di rumah sakit meninggal pada tahun 2015, tiga kali lipat jumlah kematian dibanding tahun sebelumnya, kata kepala Rumah Sakit Amal, Mokhtar Said Ahmed. “Jumlah yang meninggal di rumah tidak diketahui,” katanya.
Konflik selama setahun di Yaman telah menyebabkan lebih dari 9000 orang tewas, 27.000 terluka, dan telah menyebabkan 2,4 juta orang –hampir 10 persen dari populasi– menyingkir dari rumah mereka. Infrastruktur telah hancur, hampir 14,1 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Sistem perawatan kesehatan telah runtuh. Setidaknya 600 fasilitas di seluruh negeri telah ditutup, dan masyarakat berjuang untuk mendapatkan pasokan makanan.
Sebagai pusat budaya di Yaman, Taiz telah terbagi menjadi beberapa zona. Beberapa di bawah Houthi dan lain-lain di bawah pejuang. Houthi telah menutup pintu masuk guna pertahanan, menyebabkan warga bergantung pada makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan perlengkapan lainnya yang diselundupkan dengan menggunakan keledai melalui jalan belakang. Kelompok-kelompok bantuan internasional hanya memiliki akses terbatas ke kota untuk memberikan bantuan.
Bahkan pada saat gencatan senjata berlangsung di sejumlah wilayah, di Taiz pertempuran terus berlanjut. Ini karena Taiz berada titik tengah antara kawasan utara yang dikuasai Houthi dan selatan oleh pejuang yang didukung Saudi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Said, kepala Amal, mengatakan, nasib pasien kanker kini semakin buruk.
“Banyak pasien sekarang tinggal menghadapi kematian karena tidak memiliki obat-obatan, terutama pada anak-anak,” katanya.
Mereka yang mendapatkan pengobatan terus menanggung gangguan selama berbulan-bulan. Pasien yang masih hidup pun harus berjuang untuk bisa menuju ke fasilitas Amal yang baru.
Feras Ali Hassan, seorang anak berusia 10 tahun yang didiagnosis leukemia sejak usia 6, telah memperoleh peningkatan kesehatannya setelah dirawat dua setengah tahun di di Amal. Tapi untuk beberapa bulan ini, ayahnya tidak bisa membawanya untuk pengobatan karena mereka tinggal di distrik garis depan, Wadi Hanish.
“Kami terjebak dalam baku tembak; Houthi di satu sisi dan perlawanan di sisi lain. Warga terjepit di antara pertempuran. Korbannya termasuk warga,” kata Ali Hassan, ayah Feras.
Akhirnya, ia dan anaknya pindah ke tempat yang lebih dekat di Amal, meninggalkan seluruh keluarganya di Wadi Hanish.
Tapi sayangnya kondisi Feras memburuk belakangan ini, dokter takut kanker telah menyebar. Ahmed al-Makhalfi, yang mengawasi pengobatan Feras, mengatakan, setelah melanjutkan kemoterapi, rumah sakit hanya bisa memberinya sejumlah kecil obat karena kekurangan pasokan.
Di Amal, koridor rumah sakit diisi oleh pasien yang menunggu mendapatkan perawatan karena ruang tempat tidur pasien sangat terbatas.
“Tempat tidur bisa biasanya tersedia hanya setelah pasien meninggal,” kata ayah Feras.*