Akhir bulan Oktober 2011, Taufikurrahman duduk bak pesakitan. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dinginnya mengalir membasahi wajahnya. Ia sedang menanti pengumuman paling bersejarah sepanjang hidupnya: ditugaskan berdakwah di luar pulau Jawa. Seluruh pasang mata yang hadir tertuju kepadanya saat namanya disebut, “Ustadz Taufikurrahman. Dengan daerah tugas, Tobelo, Maluku Utara.”
Sontak, lelaki berkulit sawo matang ini langsung bangkit. Tangan kanannya meninju langit seraya bertakbir, “Allahu Akbar.” Tak ketinggalan para peserta lainnya juga ikut bertakbir. Mata mereka berkaca-kaca. Tampak ibunya, Zami, yang duduk di sudut ruangan menitikkan air mata terharu. Taufik, demikian biasa dipanggil, lalu maju ke panggung dan dikalungi surban simbol pelepasan kader dai.
Saat itu, Taufik, pria Kelahiran Pamekasan, Madura Jawa Timur ini sedang mengikuti prosesi penugasan kader dai Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) Hidayatullah Surabaya, Jawa Timur. Tak pernah terbayang jika ia mendapat amanah dakwah di daerah bekas konflik yang jauh itu. Bahkan, daerah Tobelo, katanya, baru saja ia dengar. Meski begitu, Tobelo tak menyiutkan nyalinya. Semangat dakwahnya tetap berkobar.
Kata Taufik, “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.” Maksud peribahasa ini diartikan, jika suatu keputusan telah diambil, maka seharusnya tidak ada lagi keragu-raguan. Jadi, keputusan itu harus dilaksanakan meski akan menghadapi segala kendala yang menghadang.
Tak lama setelah itu, ia berangkat ke daerah tugas seorang diri dan hanya berbekal ongkos secukupnya.
Sempat Ketar-ketir
Setiba di sana, ia diamanahi membuka pesantren di Desa Togoliua, Kabupaten Tobelo, Maluku Utara. Tak ada teman. Ia melakukannya seorang diri. Padahal, dari cerita masyarakat setempat, Tobelo dulunya pusat konflik antara Islam dan Kristen. Banyak orang Islam meninggal di sana. Dan, alangkah kagetnya ia ketika pertama kali datang langsung disuguhi video pembunuhan oleh anak-anak kecil.
“Ustadz-ustadz, lihat nih video ini,” kata Taufik menirukan.
Ia tercengang sesaat. Ternyata, anak-anak itu masih menyimpan video tersebut di handphone. Padahal, peristiwa naas itu telah lama terjadi. Taufik merinding. Rasa takut mulai merayapi pikirannya. Hampir beberapa pekan lamanya ia mengurung diri dan menangis di kamar. Ia khawatir bila hal paling buruk menerpa dirinya. Namun, seiring waktu, ia pun mulai menguasai diri.
“Bukankah ajal dan hidup manusia itu di tangan Allah. Insya Allah, demi dakwah, saya siap mengemban amanah berat ini meski menuai risiko terburuk sekalipun,” tuturnya sambil mengingat-ingat filosofi perjuangan Thariq bin Ziad.
Tentu keputusan itu tidak mudah. Butuh kekuatan dan keikhlasan yang kuat. Tidak banyak orang bisa melakukannya. Saat itu, ia betul-betul memasrahkan semuanya kepada Allah Ta’ala. Ia telah melakukan “transaksi jual-beli” dengan Allah di medan dakwah.
Taufik pun mulai bergerak. Salah satu tugas yang sudah ada di depan mata adalah menjaga lahan kosong sekitar dua hektar yang akan dibangun pesantren. Hanya baru ada gubuk reot yang ia tinggali. Tak ada WC. Air juga susah. Terpaksa, ia pun terkadang harus mandi di sungai yang jaraknya sekitar satu kilometer.
Desa Togoliua terletak di Kecamatan Kusuri, Tobelo, Maluku Utara. Mayoritas penduduknya Muslim. Jumlah Muslim di desa ini paling banyak bila dibandingkan daerah yang lainnya atau sekitar 250 KK. Mata pencaharian mereka berkebun. Sebelum konflik, katanya, jumlah Muslim lebih banyak. Namun, setelah terjadinya kerusuhan, jumlah Muslim menyusut.
Banyak penduduk di desa ini berasal dari Maluku ditambah sebagian dari Jawa yang bertransmigrasi. Kendati mayoritas Muslim, tapi menurut pantauan Taufik, semangat beribadah masyarakat masih memprihatinkan. Buktinya, dari sekitar empat masjid yang ada, hampir semuanya sepi dari syiar Islam. Bahkan, jamaah shalat Jumat saja tak lebih dari dua shaf. “Pasca kerusuhan, banyak ustadz yang pergi dan tak kembali. Mungkin karena minimnya bimbingan jadi semarak beragama masyarakat redup,” ujarnya.
Yang membuatnya lebih miris lagi adalah kalangan remajanya yang suka minum-minuman keras dan memakai anting-anting di telinga. Ia sempat kaget bukan main. Pernah suatu saat ia mengajar di sebuah madrasah tsanawiyah. Iseng-iseng ia bertanya kepada siswanya, ternyata tak ada yang shalat Subuh. Tidak hanya itu, jumlah rakaat shalat Ashar saja banyak yang lupa. “Kalau rakaat shalat saja lupa bagaimana dengan mengerjakannya,” katanya.
Kondisi itulah yang menjadi keprihatinan banyak orang. Sebenarnya, pasca kerusuhan ada sebagian anak yang dikirim menimba ilmu di pesantren di Jawa. Namun, saat kembali mereka justru ikut terpengaruh budaya buruk: nongkrong, meminum khamr, dan memakai tindik.
Kondisi seperti itulah yang dihadapi Taufik. Ia mulai mengatur rencana. Di sela-sela kesibukannya membangun masjid, ia membina remaja dan anak-anak. Namun, tidak mudah memulai dakwah di tempat yang baru, apalagi seorang diri. Untungnya, ia mempunyai kemampuan beladiri. Ia menarik perhatian para remaja dengan mengajari mereka ilmu beladiri yang pernah dipelajarinya saat menimba ilmu di Pesantren Banyuanyar, Pamekasan Madura. “Alhamdulillah, mereka cukup tertarik dan banyak yang minta belajar,” terangnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Setelah akrab, baru mereka diajari ngaji al-Qur`an. Taufik membagi waktu antara ngaji dan belajar beladiri. Untuk ngaji waktunya selepas Ashar, sedangkan beladiri malam hari. Berawal dari situ, ia pun bisa mendirikan Taman Pendidikan al-Qur`an (TPQ), yang menampung sekitar 70 siswa.
Ia juga melebarkan sayap dakwahnya dengan mengisi tausiyah ibu-ibu. Berkat kemampuannya menelaah Kitab Kuning membuatnya cukup fasih berbicara soal fikih.
Suatu saat, ada seorang pegawai KUA Tobelo melihat kemampuannya itu. Langsung saja Taufik ditawari menjadi salah satu anggota Tim Fatwa MUI Tobelo.
Mendirikan Pesantren
Taufik mendapat amanah mendirikan pesantren. Kini, sebuah masjid sedang dalam proses penyelesaian. Rencananya, di atas lahan seluas dua hektar itu akan dibangun Madrasah Aliyah Darul Arqam.
Untuk memperkuat dakwahnya, medio Juni lalu, anak dari pasangan Hamzah dan Zami ini pulang ke kampungnya, Pamekasan untuk menyempurnakan agamanya. Ia mempersunting gadis pilihanya, Nur Imamah yang masih satu kampung dengan Taufik.
“Insya Allah, dengan adanya istri, saya bisa lebih konsentrasi dan kuat mengemban tugas dakwah di sana,” harapnya. Selamat berjuang.* Syaiful Anshor, koresponden Suara Hidayatullah
Rubrik ini atas kerjasama hidayatullah.com dengan Pos Dai, untuk informasi berbagai program dakwah dapat di klik di www.posdai.com