Oleh: Thoriq*
PADA akhir April 2012 lalu di Nouakchott Mauritania, sekelompok orang yang disebut-sebut sebagi pendukung organisasi IRA dipimpin oleh Biram Walid Abidi sengaja membakar kitab-kitab madzhab Maliki. Yang ikut dibakar pada waktu itu disamping Al Mudawwanah yang ditulis oleh Imam As Suhnun yang berisi pendapat Imam Malik bin Anas juga sejumlah kitab-kitab lainnya seperti Hasyiyah Ad Dasuki ala As Syarh Al Kabir karya Imam Ad Dasuki serta Syarh Khalil, Syarh Ibnu Asyir serta Syarh Al Akhdhari. Biram Walid Abidi menyebutkan alasan pembakaran itu bahwa kitab-kitab itu merupakan hasil pemikiran manusia, bisa benar dan bisa salah berbeda dengan Al Qur`an dan As Sunnah.
Aksi yang membuat para pelajar Islam melakukan protes itu ditanggapi oleh para ulama Mauritania yang dipimpin oleh Dr. Syeikh Abdullah Bin Bayah, mereka pun menyatakan bahwa pemisahan antara fiqih dengan Al Quran serta As Sunnah akan membangun subhat bahwa fiqih tidak mengandung Al Qur`an dan As Sunnah atau bahkan bertentangan dengan keduannya, padahal tidaklah demikian. Dan opini itu sendiri bisa menyebabkan kaum awam meremehkan kitab-kitab madzhab beserta para ulamanya, sebagaimana dilansir Hidayatullah.com (13/5/2012).
Memang banar apa yang disampaikan para ulama tersebut. Secara umum tidak ada yang perlu dipertentangkan antara Al Qur`an dan Sunnah dengan fiqih secara umum dan fiqih madzhab Maliki secara khusus. Karena fiqih sendiri merupakan hasil istinbath dari keduanya yang dilakukan oleh ulama yang memiliki otoritas, sesuai dengan definisinya sendiri, fiqih adalah ilmu bi al ahkam as syar’iyah al amaliyah al muktasab min adillatiha at tafshiliyah (ilmu mengenai hukum-hukum syar’i yang menyangkut pengamalan yang disimpulkan dari dalil-dalilnya secara terperinci). (lihat, Lathaif Al Isyarat, hal. 20)
Demikian juga hakikat fiqih madzhab, tidak perlu dipertentangkan dengan sumbernya yakni As Sunnah, karena As Sunnah merupakan sumber dari fiqih madzhab para ulama muktabar. Karena ushul madzhab Maliki sendiri menegaskan posisi As Sunnah sebagai sumber dalam pengambilan hukum. Ibnu Rusyd ulama besar Malikiyah menyebutkan bahwa Syariat diambil dari 4 dasar, Al Qur`an kemudian As Sunnah, ijma’ serta qiyas. (lihat, Muqaddimat, 1/26-27)
Al Muwaththa’ Sebagai Dasar Madzhab Maliki
Al Muwaththa’ sendiri yang disebut sejumlah ulama sebagai kitab hadits shahih yang paling awal (lihat, Risalah Al Mustatharrifah, hal. 6), merupakan hasil dari jerih payah Imam Malik yang menjadi panutan ulama madzhab Malikiyah. Dan Al Muwaththa’ disamping berisi hadits-hadits namun berisi ijtihad ulama ahlul madinah juga ijtihad Imam Malik sendiri. Imam Malik menyampaikan mengenai Al Muwaththa`,”Di dalamnya mengandung hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam , perkataan sahabat dan tabi’in dan pendapatku dan aku kadang menyatakan dengan pendapatku dan ijtihadku dan atas apa yang aku ketahui dari ahlul ilmi negeri kami (Madinah) dan aku tidak keluar dari mereka.” (Al Madarik, 2/73)
Dan posisi Al Muwaththa’ dalam madzhab Malikiyah adalah landasan dalam mengambil kesimpulan hukum. Al Hafidz Abu Bakr bin Al Arabi Al Maliki menyampaikan mengenai Al Muwaththa’,”Sesungguhnya ini merupakan kitab pertama yang ditulis dalam syariat Islam dan dia juga yang penghabisan, karena tidak ada kitab yang ditulis yang setaraf dengannya, dimana Malik Radhiyallahu anhu membangunnya dengan memulai pada pokok untuk cabangnya dan beliau memperingatkan sebagian besar ushul fiqih yang kembali kepadanya masalah-masalahnya dan cabang-cabangnya.” (Al Qabas, 1/75)
Metode Ta’shil dan Tajrid
Dari sini bisa diketahui bahwa Al Muwaththa’ berisi banyak disiplin ilmu disamping berisi hadits. Metode Imam Malik dalam menyusun Al Muwaththa’ inilah yang menjadi panutan banyak ulama Malikiyah, lebih-lebih yang tinggal di Iraq, hingga dalam karya-karya mereka selalu menyabutkan dalil yang disebut dengan metode ta’shil (mengembalikan setiap perkara kepada dasarnya). Yang juga ikut mendukung metode ta’shil ini adalah kondisi Iraq yang banyak terdapat madzhab, hingga perdebatan antar madzhab sering kali terjadi, kondisi ini semakin mendorong para ulama madzhab Maliki menyertakan dalil dalam setiap permasalahan untuk menghadapi “serangan” madzhab lainnya.
Hanya sebagai contoh dan belum mencakup seluruhnya, kitab-kitab madzhab Maliki yang menyebutkan dalil antara lain Al Mabsuth dan As Syuf’ah karya Qadhi Ismail, Syarh Mukhtashar Al Kabir karya dan Syarh Risalah Ibnu Abi Zaid karya Abu Bakr Al Abhari, Al Isyraf dan Al Mu’awwanah serta Syarh Al Mudawwanah karya Qadhi Abdul Wahhab, Al Majmu’ah karya Ibnu Abdus, Thuraz Al Majalis karya Ibnu Huraiz Al Azdi, Bayan wa At Tahshil Al Jami’ li Masa’il wa Al Mukhtalithah dan Al Muqadimat Al Mumhidat karya Ibnu Rusyd (kakek), Bidayah Al Mujtahid karya Ibnu Rusyd (cucu), At Tamhid dan Al Istidzkar karya Ibnu Abdil Barr, Syarh At Talqin karya Imam Ali Bin Umar Al Maziri, Tahdzib Al Masalik fi Nushrah Madzhab Malik karya Ibnu Dunas Al Maghribi, Adz Dzkahirah karya Imam Al Qarrafi dan Manahij At Tahsil oleh Ibnu Said Ar Rajraji.
Lebih dari itu, para ulama muhadditsun Malikiyah juga mentakhrij hadits-hadits dalam kitab-kitab fiqih mereka. Beberapa contoh kitab yang berkonsentrasi dalam bidang ini antara lain Al Hidayah fi Takhrij Ahadits Al Bidayah karya Al Muhaddits Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari, Takhrij Al Ahadits Al Waridah fi Al Mudawwanah oleh Syeikh Thahir Muhammad Ad Dardiri, Al Ithaf bi Takhrij Ahadits Al Isyraf oleh Syeikh Badawi Abdushamad Thahir Shalih, Takhrij Ahadits Kifayah Ath Thalib Ar Rabani oleh Abu Araki As Syeikh Abdul Qadir, Takhrij Ahadits Hasyiyah Ash Shafthi oleh Dr. Umar Ma’ruf dan kitab-kitab takhrij lainnya.
Kitab Madzhab Maliki yang Tidak Menyebutkan Dalil
Meski madzhab Maliki banyak memiliki kitab-kitab fiqih yang menyebutkan dalil namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit juga kitab-kitab yang tidak menyebut dalil meski pada dasarnya memiliki dalil sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab madzhab Maliki sebelumnya. Metode penulisan kitab yang tidak menyebut dalil yang juga biasa disebut sebagai metode tajrid (pengosongan dari dalil) itu dianut oleh sebagian ulama Malikiyah karena beberapa faktor. Pertama, karakter Imam Malik yang amat ketat dalam periwayatan hadits, dan kehati-hatian beliau dalam berfatwa serta kewibawaan beliau. Sifat-sifat Imam Malik itu menjadikan murid-murid beliau memandang ketsiqahan Imam Malik, hingga mereka menerima fatwa-fatwa Imam Malik dan tidak perlu lagi mempertanyakan dalil.
Faktor ke dua, kembali kapada metode Imam Malik dalam menyampaikan ilmu dimana beliau membagi majelis menjadi dua, pertama untuk periwatan hadits yang kedua membahas khusus masalah fatwa. Untuk Majelis hadits Imam Malik tidak menghadiri kecuali dengan mandi dan memakai wangi-wangian dengan pakaian bagus dalam rangka mengagungkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sedangkan untuk menyampaikan fatwa beliau keluar dengan penampilan apa adanya (Al Madarik, 2/14-15). Dari hal itu bisa disimpulkan bahwa Imam Malik dalam menyampaikan fatwa tidak menyertakan dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam, karena jika beliau menyampaikan hadits maka beliau pun bersuci dan memakai wangi-wangian serta pakaian bagus, namun beliau dalam hal ini tidak melakukannya.
Faktor ke tiga yang ikut berperan membangun metode tajrid adalah proses pembukuan madzhab dimana para murid Imam Malik menyimak fatwa-fatwa Imam Malik periwayatan fiqih dari Imam Malik menjadi banyak. Dalam madzhab Maliki dikenal dengan istilah sima’ Ibnu Qasim (yang didengar Ibnu Qasim) , sima’ Ibnu Wahb, sima’ Asyhab dan lainnya. Ini merupakan pembukuan madzhab dalam tahapan awal. Kemudian pembukuan tahap kedua ditandai dengan tertulisnya Al Mudawwanah (yang dibukukan) baik oleh Asad Al Qairawani dan As Suhnun. Al Mudawwanah sendiri disusun dalam dua periode yang diawali oleh Asad Al Qairawani dimana beliau pada awalnya menyimak Muwaththa’ dari Ali Ibnu Ziyad At Tunisi kemudian mendatangi majelis Imam Malik di Madinah. Namun beliau juga melakukan perjalanan ke Iraq dan berguru kepada Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah sedangkan Imam Malik di Madinah wafat. Akhirnya beliau menyesal tidak lagi bisa menimba ilmu dari Imam Malik, hingga memilih untuk mencari jawaban untuk masalah-masalah Iraq dari murid-murid Imam Malik yakni Ibnu Wahb, Asyhab serta Ibnu Qasim dengan pendapat Imam Malik dan menulisnya dan kitab itu beliau namakan Al Mudawwanah. Kemudian Asad ke Afrika untuk menyebarkan ilmu Imam Malik yang diperolehnya itu. Sedangkan Al MudawwanahAs Suhnun merupakan penyempurnaan dari Al Mudawwanah Asad, meski kadang disebut dalil, namun hal itu tidaklah banyak. Kitab-kitab fiqih setelahnya coraknya banyak terpengaruh oleh dua kitab induk madzhab Maliki ini yang juga disebut sebagai Al Umm-nya madzhab Maliki.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun kedua metode penulisan, baik ta’shil maupun tajrid sendiri tidaklah saling menafikan, keduanya malah saling menguatkan madzhab Maliki. Untuk karya yang menganut metode tajrid berkonsentrasi mengenai validitiasi periwayatan pendapat Imam Malik dan madzhab sedangkan karya yang menganut metode ta’shil memperkuat fiqih Malikiyah dari segi dalil.
Walhasil, fiqih madzhab Maliki bersumber dari As Sunnah yang ditunjukkan dengan ushul madzhab Maliki serta kitab-kitab madzhab yang menyertakan dalilnya. Sedangkan kitab-kitab yang tidak menyertakan dalil juga tidak menjukkan bahwa fiqih madzhab Maliki tidak berdasarkan dalil, namun karena ia ditulis dengan metode yang berbeda dan konsentrasi pada validitas periwayatan pendapat Imam Malik dan madzhab. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
*Alumnus Fakultas As Syari’ah Al Islamiyah Universitas Al Azhar Mesir