Oleh: Kholili Hasib
Usaha membangun pola hubungan lintas agama kini tidak bisa lepas lagi dari zona politik. Forum dialog lintas iman yang semula konon bertujuan membangun toleransi dan harmonisasi sudah menjadi media untuk mencapai target proyek tertentu. Misalnya, kabar yang dibocorkan WikiLeaks bahwa terjadi pertemuan rahasia antara pejabat Kedubes AS dengan dua pejabat China bernama Cui Tiankai dan Hu Zhenyue pada 5 Maret 2007. Pertemuan ini membahas perlunya meningktkan dialog muslim RI dan China untuk tujuan mensekularkan Indonesia.
Pada awal tahun 2010 AS dan RI menyelenggarakan forum interfaith dialogue (dialog lintas agama) untuk pertama kalinya yang dihadiri kedua pejabat kementrian luar negeri. Tujuannya, meningkatkan saling pengertian antar dua budaya dan pemeluk agama.
Model usaha yang dilakukan dengan cara seperti tersebut di atas, rupanya belumlah secara ikhlas betul-betul ingin membangun toleransi berkeadilan. Buktinya, dalam forum interfaith dialogue yang dihadiri perwakilan pejabat AS dan RI pada 25 Januari lalu itu, tidak terdengar isu dan agenda pembebasan negara muslim yang masih dijajah AS. Juga, pertemuan rahasia antara AS dan China membahas rencana mempromosikan Islam sekular di Indonesia dengan cara meningkatan interaksi dialog muslim China yang telah tersekularkan dengan muslim Indonesia (republika 16/12/2010). Jika seperti ini yang terjadi, maka sebenarnya interfaith dialugue yang akan dibangun mengandung kepentingan terselubung, bukan demi harmonisasi hubungan antar agama dan budaya.
Oleh sebab itu, tidak salah jika beberapa pihak makin menaruh kecurigaan terhadap gagasan interfaith dialogue, jika kejujuran dan keterbukaan masih dikesampingkan. Ketika forum interfaith dilogue ditungganggi kepentingan tertentu, maka tujuannya bukan lagi toleransi dan harmonisasi. Pihak yang kontra ini melihat bahwa dialog semacam itu secara halus menggiring kepada confusion, sikritisme dan pluralisme agama. Bahkan pemeluk agama dipaksa untuk mengakui dan meyakini kebenaran agama lain serta membuang jauh-jauh keyakinan absolut agamanya (Syamsuddin Arif, 2010:160).
Kepentingan Terselubung
Benarkah interfaith dialogue sarat kepentingan terselubung? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita perlu mengetahui strategi atau pendekatan yang dibangun selama ini dalam dialog tersebut. Kedua, menimbang praktik keadilan pihak-pihak peserta dialog.
Dengan dua analisis ini setidaknya diharapkan kita akan memperbaiki strategi yang tengah berjalan. Sehingga diharap mampu membangun pola relasi antar agama, lintas peradaban yang dilandasi kejujuran dan keadilan, bukan didasari lagi kepentingan proyek ideologi tertentu – yang akan merusak harmoni kehidupan beragama.
Kita perlu mengetahui terlebih dahulu asal mula dialog antar agama digelar, sebelum memetakan pola strategi yang dijalankan dialog antar agama selama ini. Untuk pertam kalinya dialog antar beragama yang melibatkan negara diadakan pada tahun 1932. Negara Prancis mengutus delegasi untuk berdialog dengan dengan para ulama’ al-Azhar dengan tujuan penyatuan iman tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Setahun kemudian pada 1933 di Paris diselenggarakan Konferensi Internasional yang dihadiri oleh para Orientalis dan Misionaris dengan tujuan yang sama, sebagai tindak lanjut pendelegasian ke negara Mesir.
Pada 1964 lembaga kepausan mendirikan organisasi yang tugasnya memfasilitasi forum dialog antar agama. Organisasi ini bernama Segretariato per i non-Christiani yang pada 1988 diubah menjadi The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Misi dialog ini sebagaimana diungkankan Hans Kung, adalah mewujudkan perdamaian dunia dan menyelesaikan konflik antar agama. Vatikan berinisiatif mengadakan dialog lintas iman setelah digelar konsili pada 1962 yang memutuskan bahwa Gereja tidak mengingkari adanya kebenaran dan kesucian agama-agama diluar Kristen. Meskipun keputusan itu inklusive, akan tetapi Gereja tetap memberi ketegasan bahwa agamanya ialah satu-satunya jalan keselamatan.
Kesan ambivalensi pendirian tersebut menimbulkan tanda tanya, apa lagi setelah teolog Kristen Inggris, John Hick, menegaskan bahwa interfaith dialogue saja tidak cukup, akan tetapi perlu sebuah formulasi teologis yang baru. Ia kemudian menggulirkan teologi global. Baginya, teologi global merupakan konsekuensi dari interfaith dialogue. Hick mengatakan bahwa Kristen sama sekali tidak menganggap orang di luar Kristen sebagai non-Kristen akan tetapi, mereka perlu dipertimbangkan sebagai Kristen ‘anonim’ (John Hick, 2006:30). Untuk itu, lanjut Hick, harus ada dialog untuk mencapai tujuan teologis tersebut.
Dengan demikian, hal ini semakin memperkuat dugaan pihak yang kontra interfaith dialogue bahwa dialog lintas iman yang selama ini diselenggarakan negara-negara Barat bukan sekedar membangun toleransi akan tetapi telah masuk pada proses pluralisasi dan sekularisasi. Bahkan tujuan politis negara Barat masuk hidden agenda, yakni intervensi untuk melanggengkan hegemoni. Makanya, dalam forum dialog yang diselenggarakan biasanya tidak boleh ada kalimat truth claim. Sebaliknya dianjurkan untuk merayakan perbedaan, dan mencari persamaan.
Prof.Dr. Jurgen S. Nielsen dari Sally Oak College Universitas Brimingham Inggris pernah mengatakan, bahwa tujuan dia mendirikan lembaga dialog lintas iman di kampusnya bukan untuk mengesahkan mana yang salah dan benar, akan tetapi mengajak untuk mencari persamaan kefahaman agama secara bersama.
Memincam istilah Jurgen Habermas, penyelenggaraan dialog seperti di atas merupakan ‘tindakan teologis’. Menurut Habermas, untuk mencapai tujuan khusus, seorang harus menciptakan sarana yang tepat dan sesuai yaitu; sebuah keputusan. Motif kepenetingan itu menurutnya mesti melibatkan kekuasaan. Maka, jalur politik adalah media mencapai sebuah keputusan itu. Dalam hal ini keputusan mendirikan forum interfaith dialogue demi mencapai target politik dan proyek ideologi tertentu. Hal inilah yang bisa menodai penyelenggaraan dialog, yaitu kepentingan proyek teologis tertentu bukan toleransi yang harmonis.
Tanpa Penjajahan
Selain itu, interfaith dialogue yang digulirkan belumlah mencapai idealisme keadilan. Sebab, dalam diialog antar agama yang selama ini diselenggarakan belum menyentuh keadilan negara-negara Timur yang terjajah. Bagaimana mungkin dialog berjalan sehat, jika masih terdapat negara Timur (Muslim) yang dijajah oleh negara Barat. Dialog lintas iman dan lintas peradaban akan berjalan sesuai tujuan mulia jika dilandasi keterbukaan dan kebebasan negara-negara terjajah. Jika Barat masih bernafsu menancapkan hegemoni kekuasaannya, maka dialog adalah utopia. Toleransi yang tampak adalah semu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Selama masih ada penjajahan, seperti di Palestina, Afganistan dan Iraq, maka inisiatif Barat untuk berdialog bisa diterjemahkan sebagai lips service saja, bahkan konspirasi. Keadilan dan kebebasan bernegara yang mesti menjadi landasan dialog belum dieprjuangkan. Kita pun bisa mengatakan, dialog yang dikampanyekan hanyalah media untuk mencapai target-terget politis tertentu, yaitu proyek memasarkan ideologi pluralis, memurtadkan muslim dan mengukuhkan kekuasaan negara Barat. Jelas ini menodai kedamaian dan keadilan universal.
Oleh sebab itu, untuk menciptakan dialog yang sehat, maka perlu dilandasi oleh rasa keterbukaan atau kejujuran dan keadilan. Masing-masing pihak harus saling terbuka bersikap jujur bahwa interaksi yang dijalankan murni atas semangat toleransi. Misi-misi terselubung seperti politik ideologisasi dan melanggengkan hegemoni kekuasaan mesti diakhiri.
Dialog yang sehat adalah yang dilandasi keadilan dan bersih dari politik terselubung memasarkan ideologi-ideologi tertentu. Sebab, jika ideologi asing dipaksakan masuk maka yang terjadi adalah ia bermain menjadi ‘konstentan baru’ yang akan bertabrakan dengan agama yang ada. Ini tidak akan mengakhiri, tapi justru menambah problem hubungan baru.
Islam bisa toleran tanpa membutuhkan pluralisme. Toleran cukup dengan mengakui adanya keberagaman di sekitar kita. Tidak mengganggu ibadah pemeluk agama lain. Begitu pula, mereka tidak diperkenankan mengusik akidah umat Islam.
Toleransi tidak berarti mencampurkan keyakinan, ataupun menyatukan teologi agama-agama, sebagaiman diterangkan dalam QS. Al Kafirun; ayat 1-6.
Menurut M.Legenhausen justru toleransi itu mengakui ketidak sepakatan golongan lain disertai rasa hormat. Maka, tidak ikut natalan misalnya, adalah sebenarnya sikap toleransi dan hormat terhadap kegiatan ibadah sesuai yang mereka yakini. Sebaliknya, bukan toleransi namanya mengikuti ibadah agama lain. Akan tetapi itu adalah praktik sinkritisme.
Sikap berkeadilan juga wajib dijunjung. Negera-negara Muslim yang terjajah dibebaskan dulu. Jika tidak, maka interfaith dialogue akan tetap menuai kecurigaan.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor