Oleh: Jalal & Pitono Nugroho
INTELEKTUAL Publik (IP) adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan memergunakannya untuk kemaslahatan masyarakat luas. Cara IP memergunakan ilmu pengetahuan sendiri bisa dengan mengaplikasikannya secara langsung, maupun dengan menyumbangkan wacana di masyarakat. Oleh karena itu, IP adalah mereka yang bekerja bersama-sama dengan masyarakat dan/atau menyuarakan kepentingan masyarakat banyak, termasuk dan terutama apabila masyarakat belum menyadari kepentingan itu. Yang jelas, IP meninggalkan menara gading keilmuan untuk bisa memastikan bahwa ilmu pengetahuan itu menjadi maslahat bagi masyarakat kebanyakan.
Sebetulnya, tak perlu definisi yang demikian manakala ilmu pengetahuan memang dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dalam bahasa Perancis, kata ‘intelek’, ‘intelektual’ maupun ‘intelektualitas’ dipahami sebagai relasional dengan kepentingan masyarakat. Demikian juga di berbagai bahasa lain. Namun yang terjadi memang tidaklah demikian. Ada banyak penggenggam ilmu pengetahuan yang tidak memanfaatkan ilmunya, atau bahkan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan kelompoknya, atau kepentingan mereka yang membayarnya.
Richard Posner (2001) menyatakan bahwa IP terus menerus tergerus proporsinya sejak beratus tahun yang lalu. Etzioni dan Bowditch (2006) bahkan menyatakan bahwa IP sudah menjadi spesies yang terancam punah. Ini sesungguhnya menandakan krisis intelektualitas. Bertambahnya pengetahuan tidak secara otomatis membuat seseorang untuk menugaskan dirinya bekerja untuk berada di sisi kemaslahatan masyarakat. Apa yang dinyatakan oleh Posner maupun Etzioni dan Bowditch malahan menyatakan kecenderungan yang sebaliknya. Akumulasi pengetahuan telah dimanfaatkan untuk kepentingan yang berseberangan dengan kemaslahatan masyarakat.
Ambil dua contoh yang paling terkemuka rokok dan perubahan iklim. Rokok sudah diketahui secara persis membawa dampak kesehatan yang luar biasa buruk. Bukan saja menyebabkan sakit, namun hingga kehilangan nyawa. Dan hal ini sudah diketahui sejak 1950an. Namun, banyak orang berpengetahuan yang dibayar oleh industri rokok berhasil menyembunyikan fakta tersebut, memfitnah para intelektual yang jujur, dan membuat kekacauan dalam benak masyarakat, sebagimana yang secara gamblang dijelaskan oleh Naomi Oreskes dan Erik Conway (2010). Akibatnya, rokok terus diproduksi secara massif walaupun bertentangan dengan kepentingan kesehatan. Sementara, kesehatan adalah human capital paling dasar.
Iklim memiliki siklus dan perubahan alamiahnya. Namun apa yang terjadi pada iklim sejak Revolusi Industri adalah perbuatan manusia. Iklim secara umum memanas dan membawa dampak buruk yang luar biasa besar bagi kehidupan manusia. Hal ini sudah diramalkan dalam disertasi Svante August Arrhenius (m. 1927), lalu dibuktikan lewat penelitian Charles Keeling di tahun 1961. Peringatan Arrhenius dan Keeling terus mendapatkan penguatan dari penelitian-penelitian sesudahnya. Namun, masyarakat terus dibuat bingung oleh kesan bahwa ilmu pengetahuan belumlah bersepakat soal penyebab dan bahaya perubahan iklim antropogenik. Lagi-lagi, ini adalah ulah orang-orang berpengetahuan yang dibayar oleh industri energi kotor. Akibatnya, umat manusia semakin berada dalam bahaya yang semakin besar lantaran terus menunda transformasi ke energi bersih.
Islam dan Krisis Ilmu Pengetahuan
Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan tempat yang sangat istimewa. Tinta cendekiawan muslim (ulama) artinya karya ilmu pengetahuan— dinyatakan sangat mulia. Orang yang berilmu pengetahuan diangkat derajatnya oleh Allah. Tuntunan atau bahkan tuntutan untuk memelajari isi Langit dan Bumi sangat benderang. Juga, manusia terbaik dinyatakan sebagai yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Tentu, itu semua bisa dicapai lewat ilmu pengetahuan yang penyebarannya bisa tak terbatas.
Namun, yang terjadi di dalam umat Islam bahkan lebih parah dibandingkan dunia intelektualitas Barat yang semakin kehilangan IP. Dunia Islam bahkan sedang mengalami kemunduran lantaran ilmu pengetahuan sendiri tidak dibangun dengan serius di kalangan muslim, bahkan malah kerap dilecehkan. Sementara arti ulama sendiri kemudian mengalami penyempitan menjadi orang yang (dianggap) memiliki ilmu pengetahuan tentang agama. Ilmu pengetahuan ‘duniawi’ yang diperintahkan Allah untuk dicari dan dibangun demi kemaslahatan umat-Nya cenderung dinyatakan bernilai lebih rendah dibandingkan dengan ilmu pengetahuan tentang agama. Bahkan, mereka yang mencari dan membangun ilmu penegtahuan non-agama kerap dinyatakan sebagai sekular.
Hal ini juga terkait dengan bagaimana ‘agama’ telah disempitkan maknanya oleh umat Islam. Apa yang dianggap ‘Islami’ adalah yang terkait dengan ibadah mahdhah saja, sementara yang di luar itu dilabel sebagai ‘duniawi’ dan menjadi kurang penting, atau bahkan gangguan dan musuh dari yang ‘Islami’. Oleh karena itu, pencarian ilmu pengetahuan di luar yang terkait dengan ibadah mahdhah—walaupun diperintahkan secara langsung oleh Allah—dipandang menjadi kurang penting. Inilah yang kemudian menjadikan krisis intelektualisme di dalam Islam menjadi lebih parah.
Di Barat, ilmu pengetahuan kerap terus berkembang, namun IP cenderung menghilang. Mereka yang berilmu pengetahuan cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan material diri sendiri, sehingga secara sadar maupun tidak menjadi pengabdi kuasa ekonomi kapitalistik atau kuasa politik para penguasa. Sementara di dunia Muslim bahkan ilmu pengetahuan pun memudar, demikian pula peran IP di masyarakat. Sebagian besar dunia Islam telah menjadi sangat kapitalistik secara ekonomi dan despotik secara politik. Peran IP seharusnya semakin penting di dalam situasi tersebut, namun pada kenyataannya IP pun cenderung menghilang di dunia Muslim.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Apa yang terjadi di Indonesia sangat jelas menggambarkan kecenderungan di dunia Muslim tersebut. Bentuk-bentuk ekonomi kapitalistik sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Korbanannya sangat jelas, secara sosial dan lingkungan masyarakat mengalami kerugian besar, dan berada di ambang bahaya yang tak terbalikkan. Untuk itu, IP menjadi sangat penting di Indonesia untuk bisa membalikkan keadaan menjadi lebih menguntungkan bagi masyarakat luas, termasuk umat Islam, dan terutama kelompok rentan di dalam umat.
Gambaran Sebuah Projek Besar IP
Untuk membalikkan keadaan yang memrihatinkan itu, berbagai hal perlu dilakukan oleh mereka yang menginginkan kebangkitan umat Islam untuk memenuhi takdirnya sebagai khairu ummah, terutama untuk konteks Indonesia. Pertama, mengetahui secara persis permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan (keberlanjutan!) yang dihadapi oleh Indonesia dalam jangka panjang. Hal ini membutuhkan banyak sekali kesediaan untuk unlearn dan relearn, meninjau kembali apa yang selama ini dipercaya, dan menghilangkan berbagai kepentingan sempit yang selama ini telah membuat masalah tersebut atau menghalang-halangi pemecahan masalah yang hakiki.* (BERSAMBUNG)
Penulis, Jalal (Chair person of advisory board Social Investment Indonesia), Pitono Nugroho (Aktivis ICMI & Direktur Social Investment Indonesia)