Hidayatullah.com— Menjaga keislaman dan mengamalkan Islam –apa lagi sampai menegakkan Islam—bukanlah pekerjaan ringan, sunnahnya pasti akan mengalami banyak rintangan. Rintangan terberat saat ini adalah orang yang menjalani dan mengamalkan Islam sarat dengan tuduhan dan caci-maki.
Demikain salah satu bagian dari hasil kajian ilmiah dan bedah buku bertajuk “Mewaspadai Upaya Becah Belah dan Pendangkalan Aqidah Umat Islam dengan Deradikalisasi.”
Kajian ilmiah dan bedah buku yang diselenggarakan oleh Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (MMM) Yogyakarta dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta belum lama ini merupakan refleksi dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta berjudul “Kritik Evaluasi dan Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia”.
Tampil sebagai pembicara yaitu Pimpinan Ponpes Al-Islam Solo yang sekaligus mewakili MUI Surakarta, KH. Mudzakkir, Pimpinan Pusat Muhammadiyah hadir Prof. Dr. Yunahar Illyas, MA. Dan H. M. Mahendradatta, SH.MA.MH.Ph.D, selaku Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM).
Acara yang bertempat di Aula Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Jogja berjalan dengan lancar dan menuai antusiasme yang luar biasa dari para peserta yang didominasi oleh mayoritas dari warga Muhammadiyah.
Sebanyak kurang lebih 500 peserta datang lebih awal (jam 08.00 Aula sudah penuh), padahal acara baru akan dimulai pukul 09.00 wib sampai dhuhur.
Peserta merupakan perwakilan beberapa PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) dan PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) se-Yogyakarta dan sekitarnya.
Dalam paparannya, KH. Mudzakkir mengatakan ada usaha-usaha dari berbagai kalangan untuk melakukan deislamisasi melalui kampanye melawan terorisme.
“Usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan dalih deradikalisasi sebenarnya adalah upaya deislamisasi terhadap nilai-nilai keislaman,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa apa yang dinamakan sebagai kasus-kasus terorisme sekarang ini tidak lain merupakan rekayasa orang-orang yang anti islam.
“Berbicara masalah Terorisme, maka hal itu tidak terlepas dari berbagai kepentingan para penguasa negeri ini dan juga Barat. Maka dengan hal itu haram bagi saya dan seorang muslim untuk mempercayai segala pemberitaan yang berkembang di media-media (baik cetak atau elektronik – red) sekuler bila belum jelas sumbernya. Toh mereka (media) mendapat berita hanya dari satu sumber saja, yaitu dari polisi. Dalam islam, Allah melarang kita untuk mempercayai berita yang datangnya dari orang fasik, in jaa-akum fasiqun bi nabain fatabayyanu,” tegasnya.
Mudzakir mengimbau kepada ummat Islam tidak latah menuduh saudara muslim lainnya dengan sebutan “teroris” atau pelaku bom bunuh diri. “Saya himbau kepada ummat Islam jangan mudah menyebut saudara muslim lainnya dengan sebutan teroris. Jangan pula dengah mudahnya menuduh saudara muslim lainnya melakukan bom atau bunuh diri. Sebab orang-orang yang yang meninggal tersebut atau orang-orang yang ditembak mati Densus 88 itu belum kita klarifikasi dan belum pula disidangkan seperti yang terjadi pada Noordin Muh. Top, Dr. Azhari.”
Bias Terorisme
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr Yunahar Iliyas juga mengatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh umat manusia dan tidak pernah mengajarkan kekerasan, namun beliau menambahkan bahwa hal tersebut bukan berarti melarang umat Islam untuk melakukan tindakan yang secara fisik bersifat “keras”.
Yang dimaksud dengan kekerasan dalam konteks ini bukanlah semua tindakan-tindakan yang bersifat fisik, sebab kalau semua tindakan-tindakan fisik masuk dalam kategori tindak kekerasan maka hukuman pidana yang diatur dalam hukum Islam pun bisa include dalam kategori tindak kekerasan misalnya terkait penerapan hukuman pancung (baca – mati) bagi pelaku pembunuhan, potong tangan dan hukum-hukum terkait peperangan.
Dalam masalah terorisme, menurutnya, sampai saat ini belum terdapat definisi yang diterima oleh semua pihak tentang apa itu “terorisme”. Secara politik, sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan penilaian yang berbeda.
Jadi dalam hal ini, yang dimaksud tindak kekerasan adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sedangkan bentuk hukum yang dijadikan acuan ummat islam harusnya adalah bersumber dari al-Qur’an dan As Sunah Shohihah.
Ia mencontohkan defenisi terorisme. Dalam kasus penjajah Israel dan pejuang Palestina, HAMAS dicap sebagai “terorisme” oleh Amerika dan Israel. Namun banyak masyarakat Palestina, HAMAS adalah pejuang.
“Pejuang Hamas adalah teroris menurut pemerintah Israel, namun bagi rakyat Palestina mereka adalah pejuang kemerdekaan (freedom fighter) bangsa Palestina yang berusaha membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Begitu juga ketika Belanda menguasai Indonesia, para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia akan dicap teroris oleh pemerintah kolonial pada masa tersebut. Namun bagi rakyat Indonesia para pejuang tersebut adalah pahlawan kemerdekaan yang jika gugur akan dimakamkan di makam pahlawan,” tambah beliau.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sementara itu praktisi hukum dari Tim Penggacara Muslim, Mahendradatta menyampaikan bahwa banyak sekali terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam praktek penanngulangan terorisme, terutama dalam masalah peradilan. Banyak fakta-fakta yang diminta oleh TPM untuk dibuka di pengadilan dalam berbagai persidangan kasus terorisme namun sengaja ditutupi oleh majelis hakim maupun pihak yang berwenang.
Beliau juga menyampaikan bahwa kasus terorisme merupakan stigmatisasi untuk memperburuk citra umat islam dan islam itu sendiri.
“Kasus terorisme merupakan stigmatisasi dan penggiringan opini untuk memperburuk umat islam. Buktinya adalah pada waktu seorang yang dianggap teroris ditangkap, rame-rame media memberitakannya secara LIVE dengan sangat negatif sekali. Tapi pada waktu masuk persidangan dan sidang dilakukan terbuka untuk umum, tidak ada satu-pun media yang memberitakannya secara LIVE, kecuali sidang Ust. Abubakar Ba’asyir, namun hal itu-pun sarat dengan rekayasa, ujarnya.
Terakhir ia menjelaskan, buku yang dikeluarkan oleh MUI Kota Surakarta ini tak hanya bertujuan menolak stigma negatif terhadap Islam, namun juga berusaha memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya menangani persoalan “terorisme”. Karena terdapat banyak sekali unsur ketidakadilan dalam setiap penyelesaian masalah terorisme, baik yang berskala nasional maupun international yang memberikan dampak-dampak negatif bagi pribadi muslim maupun dakwah Islamiyah.*Ammar/kru-fai