Oleh: Dr. Iskhaq Iskandar
BUKU Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek akhir tahun lalu diluncurkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi. Ada tujuh bidang fokus yang menjadi cakupan kebijakan inovasi Iptek, yaitu teknologi pangan, teknologi energi, teknologi transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi kesehatan dan obat, teknologi pertahanan dan keamanan, dan terakhir adalah buku putih Iptek bidang teknologi material maju.
Sepintas, tak ada yang kurang dalam cakupan bidang buku Iptek ini. Seluruh bidang merupakan bidang-bidang strategis yang perlu dipersiapkan secara matang untuk menghadapi era globalisasi, keterbukaan dan pasar bebas.
Akan tetapi jika kita tilik lebih dalam, sesungguhnya kita abai akan bidang yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Tak dapat dipungkiri, sebagai negeri kepulauan yang dikarunia hamparan laut yang maha luas berikut potensi sumber daya yang ada di dalamnya kita sejatinya adalah negara maritim. Akan tetapi, bidang kelautan seolah “terpinggirkan” dari peta jalan riset rumusan Kementrian Riset dan Teknologi kita. Satu ironi bagi negara maritim terbesar di dunia.
Kelahiran Indonesia sebagai negara maritim
Secara geografis, luas wilayah laut Indonesia lebih kurang dua pertiga dari luas total wilayah Indonesia atau sekitar 3.1 juta km2. Komposisi ini secara gamblang menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya adalah negara maritim.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa kita telah mendeklarasikan kepada dunia bahwa Indoensia adalah negara maritim yang menganut prinsip Archipelagic State (Negara Kepulauan).
Pernyataan ini tertuang dalam Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 dan mendapatkan pengakuan internasional dalam konvensi laut PBB ke-3 pada tahun 1982 (UNCLOS, 1982).
Melalui deklarasi ini, kita nyatakan kedaulatan atas seluruh wilayah perairan yang berada di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau Nusantara tanpa memandang luas atau lebarnya. Inilah momentum penting bagi lahirnya negara maritim terbesar di dunia.
Deklarasi Djuanda memiliki makna strategis bagi kelangsungan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertama, secara geopolitik, deklarasi ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi Indonesia untuk melindungi dan menjamin keamanan serta keutuhan wilayah kesatuan Indonesia yang dikelilingi laut yang luas. Jika kita tetap mengacu pada hukum territorial laut warisan Hindia Belanda (Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie, 1939) yang membatasi wilayah laut sejauh 3 mil dari garis pantai, maka di dalam wilayah kedaulatan Negara kita akan terdapat banyak zona laut bebas yang dapat dijelajahi oleh kapal-kapal asing termasuk kapal-kapal musuh tanpa kita kuasa untuk melarangnya.
Kedua, secara geoekonomis penambahan luas wilayah laut dan kekuasaan untuk mengeksplorasi seluruh potensi sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya merupakan keuntungan besar bagi Indonesia. Laut kita menyimpan potensi SDA yang melimpah, baik SDA yang terbarukan (perikanan, mangrove, terumbu karang, rumput laut) maupun SDA yang tak terbarukan, seperti minyak dan gas bumi serta sumber energi kelautan lainnya (OTEC, pasang surut).
Tak kalah pentingnya, potensi ekonomi laut kita juga dapat digali dari potensi wisata bahari serta potensi jasa-jasa kelautan lainnya, seperti transportasi dan keanekaragaman hayati.
Lantas, sudahkah kita memaknai arti pentingnya Deklarasi Djuanda ini?
Potensi laut kita
Jika kita ingin jujur, hingga hari ini program pembangunan yang dicanangkan pemerintah belumlah berpihak pada sektor kelautan. Ini tercermin dalam buku putih Iptek yang diterbitkan Kementrian Riset dan Teknologi yang merupakan peta jalan kebijakan pembangunan Iptek di tanah air untuk mencapai target pembangun di tahun 2025. Paradigma negara agraris dengan orientasi daratan yang terus didengungkan oleh rezim pemerintahan terdahulu, telah membelenggu cara pandang kita akan nilai-nilai kebaharian dan wawasan kelautan.
Mengabaikan laut berarti kita telah mensia-siakan potensi ekonomi yang tersedia melimpah di perairan laut kita.
Padahal, setidaknya terdapat 5 bidang yang dapat dikembangkan untuk menopang pembangunan, yaitu (1) perikanan; baik perikanan tangkap dan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, (2) pertambangan dan energi; minyak, gas bumi, energi pasang-surut, Ocean Thermal Energy Convention (OTEC) dan potensi gas hidrat, (3) industri wisata bahari, (4) industri jasa maritim; industri perkapalan, transportasi laut, pelabuhan dan terminal peti kemas, dan jasa-jasa maritim lainnya, dan (5) industri kesehatan dan makanan yang memanfaatkan sumber daya alam dari laut.
Sebagai contoh, di perairan Indonesia terdapat 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur lalu-lintas barang dan jasa internasional. Ketiganya menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia melalui perairan Indonesia di kawasan Timur, Tengah dan Barat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan berkembangnya China sebagai satu kekuatan ekonomi baru dan kebijakan pemerintahnya untuk melakukan investasi besar-besaran di kawasan Afrika akan mengakibatkan peningkatan arus lalu lintas barang dan jasa dari kawasan Asia Timur ke benua Afrika yang akan melalui ALKI di bagian Barat Indonesia. Ini merupakan salah satu peluang industri yang dapat kita tangkap dengan mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di jalur ALKI ini sebagai international hub-port.
Peta jalan rekonstruksi Aceh paska tsunami yang dipresentasikan oleh ketua BRR Aceh-Nias, Dr. Kuntoro Mangkusubroto di Tokyo, Jepang beberapa tahun yang lalu menunjukkan adanya “keinginan” untuk mengembalikan kebesaran Aceh dengan mengembangkan pelabuhan laut Sabang.
Walaupun hingga kini “keinginan” tersebut masih sebatas konsep pembangunan, namun setidaknya hal ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa laut merupakan pijakan untuk mengembalikan kejayaan bangsa bahari ini. Inilah sesungguhnya nilai-nilai kebaharian yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang dihormati dan disegani di kawasan ini karena kejayaan bahari.
Lantas, bagaimana dengan kita sekarang? Akankan kita kehilangan lagi kuasa atas wilayah laut hanya karena kita abai dalam mengelolanya? Atau kita hanya akan saling menyalahkan karena kehilangan kedaulatan atas pulau-pulau terluar dari wilayah kesatuan Negara kita? Dan akankah kelautan menjadi fokus buku putih Iptek yang ke-8?
Penulis adalah National Research Council Fellow di NOAA/PMEL, Seattle, USA; Dosen Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Sriwijaya