Oleh: Muhamad Ridwan
BERPIKIR terlalu sederhana atau terlalu simpel (simplitis) akan menjadikan sesuatu menjadi melenceng dan tidak wajar. Karena, biasanya dengan jalan berpikir semacam ini seseorang akan menyimpulkan suatu masalah begitu saja tanpa telaah.
Perkara yang tidak sesuai dengan apa yang dianggapnya ideal langsung dikategorikan sebagai sesat, terlarang, atau vonis buruk lainnya. Padahal, vonis tersebut tidak lain hanya prasangka atau dugaannya saja. Tidak ada upaya mencari jalan untuk mendamaikan antara idealismenya dengan perkara diluar idealismenya tersebut.
Akibatnya, perkara yang kecil dibesar-besarkan, diperlakukan sebagai sesuatu yang pokok dan sangat prinsipil. Di benaknya hanya ada hitam dan putih, benar dan salah saja tanpa mengakui hal-hal yang kebenarannya bersifat relatif.
Misalnya, anggapan bahwa suatu negara jika menggunakan sistem A, maka semua masalah akan beres. Tidak akan ada lagi rakyat kelaparan, tidak akan ada lagi konflik, pokoknya semua beres, rakyat aman dan makmur. Tetapi kenyataannya belum tentu seperti itu karena masalah pasti akan selalu ada. Yang berkuasa atas ada atau tidaknya masalah adalah Allah Subhanahu Wata’ala.
Sistem hanyalah alat yang tidak menjamin seratus persen dapat berfungsi dengan sempurna. Jalan menuju ke arah sistem A yang dikatakan ideal tersebut tidak dipungkiri memang perlu dan mesti diperjuangkan, tapi mesti disertai kesadaran bahwa itu hanya merupakan upaya yang ideal untuk kemaslahatan negara, bukan sebagai penentu nasib secara mutlak layaknya Tuhan.
Idealisme adalah sesuatu yang sulit diwujudkan secara sempurna karena pasti ada saja kekurangannya. Upaya dalam mewujudkannya pun membutuhkan proses yang panjang dan bertahap. Segala hal yang ada, tapibelum sesuai dengan idealisme dan masih banyak kekurangan itu bisa jadi merupakan bagian dari prosesatau jalan terbaik menuju terwujudnya apa yang ada di alam ide. Adapun jalan yang lain, mungkin saja adalah jalan yang menghambat dan menyulitkan alias lebih buruk daripada kondisi yang ada pada saat itu.
Permisalan lainnya dalam kesalahan berpikir adalah dalam situasi ketika seseorang mengadopsi metode, paham, dan sistem dari Barat, lantas dikatakan tidak Islami, sesat, thaghut, kufur. Padahal tidak semua konsep yang datangnya berasal dari Barat itu bertentangan dengan syariat. Ada beberapa hal yang masih bisa ditolerir dengan tetap mengindahkan bahwa mereka memiliki kekeliruan dalam epistemologi dan cara pandang. Oleh karena itu, tetap diperlukan penyaringan yang baik dengan menggunakan aqidah Islamiyah dan kerangka berpikir atau cara pandang Islam.
Seperti halnya nasionalisme atau cinta tanah air, Islam tidak melarang seseorang untuk mencintai tanah airnya sendiri. Keduanya tidak dapat saling dipertentangkan. Tidak pula nasionalisme dapat dianggap sebagai penyebab perpecahan di kalangan umat Islam selama implementasinya tetap mengutamakan persatuan umat Islam.
Selanjutnya, dalam hal metode penelitian secara empirik dan rasional, Islam pun tidak menolak sepenuhnya pembuktian yang sifatnya membutuhkan fakta indrawi dan penggunaan akal meskipun lebih mengutamakan aksioma. Maka dari itu, seorang Muslim yang nasionalis atau yang menggunakan pendekatan kognitif dalam hal tertentu tidak dapat dikatakan tidak Islami selama itu masih berada dalam batas lingkup aturan Islam.
Tidak bisa pula hanya karena mirip, lantas kemudian dikatakan sama, serupa, atau sekelompok. Contohnya, karena memuliakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra., seseorang langsung dikategorikan sebagai Syiah. Padahal, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sangat memuliakan beliau. Variabel yang membedakan adalah terletak pada pandangan, sikap, dan cara dalam memuliakannya. Adanya hubungan antar premis bukan berarti dapat sembarang menetapkan asumsi, prasangka, klaim, tuduhan dan penghakiman.
Untuk menghindari hal yang demikian, maka sikap dalam menilai atau menyimpulkan suatu perkara sebaiknya menjauhi cara berpikir simplitis, terlalu gegabah menggeneralisir, dan sembarang mengambil kesimpulan. Karena kesemuanya itu merupakan kesalahan dalam berpikir. Prasangka baik mesti dikedepankan. Sering sekali akibat kesalahan berpikir itu akhirnya timbul perpecahan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kebenaran yang bersifat relatif mau tidak mau harus diakui agar tidak jumud atau rigid, yakni menganggap semua perkara hanya bisa diperlakukan sebatas hitam dan putih saja. Kebenaran relatif banyak ditemui dalam fiqih Islam. Dari dua buah pendapat, bisa jadi benar keduanya, atau salah satunya hanya bisa benar dalam waktu, wilayah, kondisi, serta kejadian tertentu saja. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidak menimpakan dosa bagi mufti atau mujtahid yang pendapatnya salah, melainkan mengganjarnya dengan satu pahala. Sedangkan yang benar mendapatkan dua pahala. Sebagai pengikut, sepatutnya tidak berlagak seperti ulama dengan memperselisihkannya.
Kesimpulannya, sebagai seorang Muslim dituntut untuk berusaha berpikir serta membuat pernyataan dengan benar dan tidak gegabah. Penting sekali untuk membedakan perkara mana yang pokok, mutlak benar, tak dapat diubah dengan perkara yang masih bisa ditolerir atau dimaklumi jika berbeda. Apa yang berbeda tidak mesti langsung dicurigai, disalahkan, dan dikucilkan karena bisa jadi sama-sama benar atau mungkin salah, namun masih dapat dimaklumi. Dan apa yang datang, tetapi belum sesuai dengan idealisme tidaklah mesti divonis terlarang atau ditolak sepenuhnya. Malah, kadang patut disyukuri karena mendukung proses terwujudnya apa yang diharapkan.*
Mahasiswa Ma’had Al-Imarat Bandung