SABTU (30/01/2015) malam, saya diajak makan oleh seseorang di sebuah warung di Malang, Jawa Timur. Warung ini menawarkan berbagai olahan daging kambing sebagai menu andalan.
Dalam warung tersebut, saya sempat melihat pasangan muda-mudi yang sedang bermesraan. Tampaknya, mereka sedang membangun asa, merajut cinta, dan menyulam kasih. Saya perkirakan usia mereka kisaran 25 tahun.
Menu pesanan mereka sepertinya ikan mujair bakar. Dua ekor untuk dua orang. Mereka makan dari dua piring berbeda. Yang agak menggelikan, keduanya minum dari satu gelas yang sama.
Melihat fenomena ini, saya senyum-senyum dalam hati. Lucu saja. Mengapa jus jeruk itu hanya satu gelas. Mungkin mereka ingin lebih romantis minum segelas berdua. Tapi, mengapa nggak sekalian dengan makan sepiring berdua? Kan, nanggung! Yah, urusan merekalah….
Saya sendiri, sejak “pacaran” hingga beranak-pinak, rasa-rasanya belum pernah makan dengan istri kecuali sepiring berdua.
Bahkan, di rumah mertua saya di Kalimantan, dan di rumah orangtua saya di Sulawesi, kami juga makan sepiring berdua. Karena tahu kami demikian, orang-orang di rumah akhirnya memilih mendahulukan kami ketika waktu makan. Hehehe….
Eits, sebentar! “Pacaran” saya jangan disalahartikan. Saya pacaran dengan pacar yang halal. Bukan seperti pacaran yang didefinisikan kebanyakan orang. Pacar yang halal itu kalau sudah diakadkan oleh wali si wanita dalam pernikahan. Lalu disahkan oleh para saksi yang ada. Dan dicatat oleh KUA dalam surat nikah (kecuali yang nikah siri. Red).
Mengumbar Cinta?
Sejatinya, romantisisme, dari sudut pandang saya sebagai seorang pria, tidak perlu diumbar dan dipertontonkan kepada khalayak. Cinta yang kita berikan, kemesraan yang kita jalin, tidak harus diketahui orang kebanyakan.
Cukup menjadi konsumsi pribadi. Tontonan kemesraan di khalayak justru memperlihatkan bahwa itu palsu dan dibuat-buat.
Menurut saya, sebenarnya, hal yang lumrah kalau seseorang berbagi kebahagiaan –termasuk kemesraan– dengan orang lain. Saya sendiri, di awal-awal “pacaran”, biasa gandengan tangan kalau sedang jalan. Kalau sekarang, masing-masing kami malah gendong anak. Hehehe….
Tapi, kemesraan yang orang lain boleh untuk mereka ketahui tentu tak semuanya. Saya rasa, bergandengan tangan dengan pacar halal cukuplah. Tetap jaga adab-adab syar’i, budaya lokal, dan falsafah hidup setempat. Yang lain-lain, bukan untuk publik!
Apakah romantisisme perlu diumbar? Perlukah orang lain perlu tahu bahwa kita mesra lagi romantis kepada pasangan kita?
Romantisisme itu bukan hanya bergandengan tangan saat jalan atau makan sepiring berdua. Romantis itu juga, kalau kita sanggup berbagi tugas menjaga anak, tak malu dan sungkan nyeboki anak, atau membawakan keranjang belanja ketika di supermarket, dan lain-lain.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jadi, kalau masih mau mengumbar kemesraan Anda hanya dengan sepiring berdua atau segelas berdua, itu pilihan. Harapannya, semoga itu bukan kemesraan palsu atau supaya ada bahan cerita di facebook dan instagram.
Oh, iya. Kalau kemesraan itu dengan kekasih yang belum halal, segera temui walinya. Sebab itu hanya kemesraan semu yang melenakan. Bagi laki-laki, jangan mainkan perasaan wanita. Bagi wanita, jangan hanya mau jadi permainan laki-laki.
Selamat menikmati kemesraan masing-masing dalam kehalalan. Semoga esok kita bisa bermesraan dengan pekerjaan kita sesuai amanah masing-masing dengan romantis.
Salam romantis dari Malang!*/ Abdul Aziz, guru dengan satu istri dan dua anak. Pembaca bisa mengirimkan tulisannya mengenai permasalahan umat ke email: [email protected]