Oleh: Andi Ryansyah
AKSI 212 (2 Desember 2017) adalah sebuah fenomena. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mungkin manusia yang paling terkejut dan tak menyangka menyaksikannya. Ucapan nistanya atas al-Maidah 51–yang dirinya mengaku tak bermaksud begitu– meletuskan perasaan umat Islam di Indonesia. Hingga jutaan orang dari berbagai daerah turun bersatu membanjiri lapangan Monas dan sekitarnya. Mereka unjuk rasa dengan damai. Menuntut Ahok diadili dan dibui. Demi tegaknya hukum dan demi menjaga kehormatan agamanya.
Aksi semakin sejuk dan mengaduk-aduk emosi dengan dilantunkannya zikir, doa, tausiyah, yang kemudian ditutup dengan shalat Jumat berjamaah. Guyuran hujan yang menggigilkan badan, tak menghalangi mereka berdiri, ruku’, dan sujud kepada-Nya.
Memang, sejak dulu, umat Islam tidak akan tinggal diam dan nrimo saja jika agamanya dilecehkan. Seperti ketika surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 memuat tulisan Djojodikoro yang menghina Nabi Muhammad minum dan menghisap opium. Tjokroaminoto meresponsnya dengan mendirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya, untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim.” Aksi protes kemudian diadakan serentak di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera yang dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang (Shiraishi, 1997).
Atau kasus lainnya ketika segerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani yang garang menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya pada tahun 1962. Mereka menginjak-injak masjid itu sambil bernyanyi Genjer-genjer dan menari-nari. Tak hanya itu, mereka juga menginjak-injak dan membakar Al-Qur’an serta kitab-kitab lainnya, dan mau mengubah masjid itu menjadi markas Gerwani. Melihat ulah ini, warga NU ribut dengan pendukung Partai Komunis Indonesia (Mun’im, 2014). Masih banyak kasus penistaan agama lainnya yang mengundang protes umat Islam. Jadi andai tak ada Pilkada DKI Jakarta pun tahun lalu, umat Islam pasti protes kalau agamanya dihina.
Baca: Peringatan Setahun Aksi 212 akan Digelar di Monas
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Momen 212 yang indah, bersejarah dan tak terlupakan itu kini telah setahun lewat. Pertanyaan menggantung di benak. Apakah momen itu menjadi perekat sementara atau permanen? Apakah kebersamaan dan persatuan dalam aksi itu masih terjaga? Haruskah ada kasus penodaan agama lagi untuk menyatukan? Tidakkah masalah kesenjangan, kebodohan, kemiskinan, ketidakberdaulatan, dan keterbelakangan yang melanda bangsa ini bisa menyatukan?
Tapi masalah ketidakadilan sosial-ekonomi itu kan urusan negara, bukan urusan agama. Sebagian dari kita mungkin ada yang berpikiran begitu. Tapi bukankah itu sekular?
Agama, seperti dinyatakan Kuntowijoyo (2008), hanya menjadi atribut keshalihan pribadi dan tidak menjadi kekuatan yang bisa mendorong terjadinya perubahan sosial untuk memperbaiki kondisi umatnya. Dalam hal ini, ujarnya, agama mengalami isolasi struktural.* >> (BERSAMBUNG)