Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Max Blumenthal
Pengungkapan yang dilakukan Zembla pada Mei 2006 memandekkan karirnya dan membuat ribut Pemerintahan Belanda. Tidak ada yang lebih terpukul terhadap hal itu daripada teman serta sekutu Hirsi Ali di partai, Menteri Imigrasi Rita Verdonk. Wanita yang mendapatkan julukan Iron Rita karena kebengisannya terhadap penetapan peraturan anti-migran dan pendekatan demagogic-nya terhadap xenophobia tersebut, dipermalukan oleh terbongkarnya dongeng Hirsi Ali. Saat dia mengumumkan niatnya untuk melucuti kewarganegaraan Hirsi Ali, Verdonk malah dihujat habis-habisan di parlemen dan dipaksa mengalah.
Beberapa hari setelah Zembla membongkar kedoknya, Hirsi Ali mengumumkan untuk meninggalkan parlemen dan bergabung dengan American Enterprise Institute, lembaga penelitian berbasis di Washington yang menaungi banyak orang-orang neokonservatis yang membantu pengaturan invasi AS ke Irak. Tidak lama setelah kehebohan yang dibuat Hirsi Ali, Verdonk memperkenalkan “Hukum Integrasi”, salah satu undang-undang anti imigran yang paling kasar di Eropa. Hanya satu anggota dari Badan Perwakilan Belanda menentangnya. Akan tetapi, koalisi pemerintahan tersebut akan segera kolaps karena skandal Hirsi Ali tersebut. Dengan koalisi baru mulai memerintah pada Februari 2007, dan tanpa Verdonk dan Hirsi Ali berkuasa, pemerintah dapat mengadaptasi pendekatan yang lebih toleran terhadap para imigran.
Mendapat Beasiswa Harvard, Membela Breivik
Sejak kepindahannya ke AS, Hirsi Ali dirangkul oleh koalisi antara kelompok intervensi liberal, neokonservatif, dan ‘Atheis Baru’ seperti Christopher Hitchens, Sam Harris dan Bill Maher. Dengan tampil di channel Christian Broadcasting Network bersama Pat Robertson, yang menyalahkan homoseksualitas atas serangan 9/11, Hirsi Ali yang mengaku sebagai feminis mendapatkan banyak pengikut umat Kristiani. Meskipun dirinya memiliki pandangan negative terhadap Islam, yang disebutnya sebagai ‘perkumpulan destruktif, nihil, dan mematikan’, dia mendapatkan beasiswa dari Kennedy School of Government Universitas Harvard. Atau gara-gara itu dia dapat beasiswa.
Semakin naik statusnya di mata kaum intelktual Amerika, sejarah kebohongan Hirsi Ali makin panjang. Pada promosi bukunya yang laris manis di tahun 2007, Infidel, pihak penerbitan Simon & Schuster mengenyahkan klaim yang menentang cerita tentang Hirsi Ali selamat dari perang sipil. Baru-baru ini, cendekiawan Peggy Noonan melebih-lebihkan alasan di balik pindahnya Hirsi Ali dari Belanda ke Amerika. Noonan menulis, “Ayaan Hirsi Ali mendapatkan ancaman pembunuhan dan akhirnya mengungsi ke Amerika.” Sedikit, bahkan hampir tidak ada, portal berita Amerika yang menyebutkan bahwa Hirsi Ali pindah dari Belanda karena kredibilitas publiknya telah jatuh dan partai anti imigrannya masuk ke dalam krisis.
Dalam lawatannya ke Berlin di tahun 2012 untuk menerima Axel Springer Honorary Award dari penerbitan sayap kanan Jerman, Hirsi Ali tampaknya menyalahkan pembela multicultural liberal atas pembantaian yang dilakukan oleh ekstrimis Norwegia, Anders Breivik. Ali menyatakan bahwa mereka membuat Breivik tidak memiliki pilihan selain menggunakan kekerasan. Sekadar catatan, Breivik mengutip tulisan Hirsi Ali dalam manifesto setebal 1500 halaman yang menjelaskan rencananya untuk melakukan serangan terror di seluruh Norwegia.
“Pria itu membunuh 77 orang di Norwegia, karena dia takut Eropa akan dikuasai oleh Islam. Dia mungkin juga telah mengutip hasil kerja orang-orang yang berbicara dan menulis melawan Islam di Eropa dan Amerika, saya salah satunya, tapi dia tidak menyatakan di essay setebal 1500 halaman tersebut bahwa orang-orang ini yang menginspirasinya untuk membunuh. Dia mengatakan terang-terangan bahwa hukum yang memaksanya tutup mulut. Karena semua media untuk mengekspresikan pendapatnya kena sensor, maka dia tidak memiliki cara lain kecuali kekerasan.” Ujar Hirsi Ali dan disambut oleh standing ovation panjang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Saat Universitas Brandeis (sebuah universitas Yahudi di Massachusetts) membatalkan rencana mereka untuk memberi gelar honoris causa kepada Hirsi Ali bulan April 2014, ini memberikan sinyal bahwa penyerangan sangat tajamnya terhadap Islam dan para penganutnya sudah tidak mempan lagi. Namun kemudian kasus Charlie Hebdo di Paris terjadi, dan ini seperti bukti dari semua pernyataan Hirsi Ali dan sesama aktivis anti-Islam. Dua bulan setelahnya, dia merilis Heretic.
Dengan membuat brand baru bagi dirinya sebagai ‘reformis’ yang berani seperti orang-orang kulit hitam yang berpawai dari Selma, Alabama memperjuangkan hak untuk ikut pemilu di tahun 1965, Hirsi Ali telah menemukan jalannya kembali ke lingkungan mainstream. Selama media Amerika masih mengakomodasi kegemarannya menyuarakan polemik tentang Islam, menganggap Hirsi Ali sebagai penjahat masih sebuah hal yang tabu.*
Wartawan dan penulis buku, “Goliath: Life and Loathing in Greater Israel” . Tulisan dimuat di www.alternet.org